rss
twitter
    Find out what I'm doing, Follow Me :)

Lagu Terima Kasih

           
            “Di waktu ku masih kecil, gembira dan senang. Tiada duka kukenal, tak kunjung mengerang. Di sore hari nan sepi, ibuku bertelut; sujud berdoa, kudengar namaku disebut. Di doa ibuku, namaku disebut….”
            Suara bocah yang melantunkannya, Natashia Nikita, terdengar polos menggetarkan perasaan. “Saat Nikita menyanyi, banyak orang tua tak mampu menahan tangis haru,” kata Lili Tanjaya, ibunya, kepada Familia. Kendati bukan Nikita yang melantunkan, keharuan toh muncul juga di tengah jemaat IFGF/GISI Everett-Washington ketika lagu itu bergema. Ceritanya, waktu itu ada conference para walikota seluruh Asia Tenggara di Seattle Convention Center. Pada hari Minggu, Drs. Wempie Fredrik, walikota Manado waktu itu yang hadir bersama istri sempat merayakan kebaktian bersama jemaat IFGF/GISI. Hari itu tanggal 13 Mei, bertepatan Mother’s Day yang dirayakan oleh seluruh warga AS. Para ibu diminta maju ke depan dan anak-anak menyanyikan lagu tersebut. Tak pelak lagi, para orang tua tidak mampu menahan keharuan. Apalagi, di akhir lagu satu per satu anak-anak itu menyampaikan ucapan terima kasih disertai ucapan, “I love you, Mom!”
            Mengapa ibu? Mungkin, karena ibu identik dengan pengasuhan anak-anak yang di dalamnya termuat kedekatan dan kehangatan. Secara tradisional, pengasuhan anak merupakan bagian dari tugas ibu rumah tangga dalam fungsinya mengasuh dan mendidik. Jenis pekerjaan yang dikenal dengan istilah unpaid work ini kadang memang kurang mendapat penghargaan. Padahal, dilihat dari beban kerjanya menurut hasil survei Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP), total jam kerja perempuan di hampir semua negara, termasuk di dalamnya pekerjaan tak berupah, lebih lama dari total jam kerja laki-laki yang bekerja di sektor formal. Jumlah jam kerja tak dibayar yang dilakukan laki-laki tidak sampai seperempat total jam kerja mereka, sementara itu perempuan mencapai dua pertiga. Kendati begitu, nyaris tak terdengar protes para ibu menuntut hak atas beban sosial dan ekonomi yang ditanggungnya. Mereka tetap tulus melakukan tugasnya. Ironis, kalau karena itu lalu secara sosial, masyarakat cukup berterima kasih dan menghormati para ibu dengan sebuah seremoni yang diberi tajuk Hari Ibu.
            Sayang, Drs. Wempie Fredrik hanya mengalami Mother’s Day dalam kunjungannya ke Washington karena sebenarnya di sana dikenal pula Father’s Day. Di negara-negara yang masyarakatnya lebih maju, soal pengasuhan sudah dihayati sebagai tanggung jawab bersama. Suami dan istri memerankan fungsi ayah dan ibu bagi anaknya dengan kompak. Tengok saja penuturan Benoit Methot seperti ditulis Tina dari Today’s Parent. Insinyur mekanik dari Quebec ini musim panas lalu mengambil cuti selama tiga bulan penuh untuk merawat bayi perempuannya di rumah. Ketika Ariane, putri tersayangnya itu berusia tujuh bulan, Sharon Coyle, istrinya, kembali bekerja. Karena tak mau menitipkan anak di TPA, mereka sepakat bahwa sang ayah akan ganti tinggal di rumah merawat Ariane. Pada bulan September Methot sudah kembali bekerja, dan mengatakan bahwa tiga bulan kemarin adalah masa paling istimewa yang pernah dialaminya.
            Drew dan Valerie Ellis, pasangan dari Ontario ini pun bisa diambil sebagai misal. Mereka menyusun jadwal kerja masing-masing dengan serius sehingga bisa bergantian merawat Cleary, anak mereka. Valerie selalu bangun pukul 03.30 dini hari dan bekerja dari pukul 05.00 sampai siang di YMCA. Lalu, ia segera pulang supaya Drew dapat bersiap-siap untuk bekerja pada pukul 15.00. “Kami terbiasa berkomunikasi lewat catatan yang kami tinggalkan di rumah,” kata Drew mengenang masa-masa awal putrinya.
            Apakah semua ayah di sana seperti Methot atau Drew? Tentu tidak. Tetapi, ada kecenderungan ayah masa kini lebih mau terlibat dalam pengasuhan anak. Menurut Josep Pleck, psikolog sosial dari University of Illinois di Urbana, paling tidak ada delapan studi yang menegaskan bahwa para ayah masa kini lebih dekat dengan anak-anaknya dan meyediakan waktu lebih banyak untuk mereka. Ini berawal sejak munculnya kecenderungan para ibu untuk bekerja sejak tahun 1970-an. Tak bisa dihindari, dewasa ini pun struktur keluarga Indonesia tengah mengalami proses transformasi sosial dari keluarga batih (extended family) menuju keluarga inti. Dampaknya, pasangan suami-istri tak bisa lagi mengalihkan fungsi pengasuhan anak kepada kerabat serumah. Mereka mesti kompak berperan sebagai ayah dan ibu kalau tak mau menyerahkan anak ke TPA.
            Konflik internalnya adalah sang ibu bingung mengatur waktu agar bisa bekerja di sektor formal, sementara sang ayah bingung mengatur waktu untuk anak. Perubahan akan terjadi bertahap. Para ayah tak canggung lagi melakukan tugas pengasuhan. Kini tak mustahil, anak bisa menjadi lebih dekat dengan ayahnya daripada dengan ibunya. Gaya pengasuhan ayah yang cenderung rasional, memberi alasan kalau melarang, atau mampu memberi rasa nyaman dan senang dalam bermain, menjadikan sosoknya tak lagi ditakuti anak seperti di masa lalu. Suatu saat bakal muncul juga lagu-lagu yang mengungkapkan kebanggaan seorang anak terhadap ayahnya. Tetapi, entahlah, apakah para ayah membutuhkan lagu. Atau, sebenarnya para ibu pun tak membutuhkannya karena keduanya tulus mengasuh anaknya. (F.X. Warindrayana)

Menyiapkan Kesuksesan

            Seorang ibu guru berdiri di depan pintu kelas. Setiap musim gugur, ia selalu memperhatikan pemandangan yang sama. Anak-anak dengan wajah berseri, pakaian bersih dan rapi, serta sepatu baru mengkilap memasuki kelas. Saat memandang ekspresi wajah-wajah polos itu, benaknya selalu digoda pertanyaan-pertanyaan. Apa yang bakal terjadi dalam tahun ajaran ini? Akankah anak-anak ini belajar dan berkembang penuh percaya diri? Akankah kelas ini menjadi baik atau akan timbul berbagai masalah? Anak-anak mana yang bakal menjadi bintang, dan mana yang bakal menjadi gangguan?
            Setiap awal tahun ajaran baru menimbulkan berbagai pertanyaan dan tantangan di benak para guru. Mereka ingin semua muridnya berhasil di kelas. Kegelisahan dan harapan yang sama muncul juga di benak para orang tua. Mereka pun tahu di antara sekian banyak anak pasti ada yang semangatnya lemah, tidak mau berusaha maksimal, dan butuh selalu diberi motivasi. Adakah anaknya termasuk dalam kategori itu? Sama seperti para guru, orang tua pun ingin anaknya berhasil di sekolah.
            Sylvia Rimm, doktor psikologi pendidikan dan Direktur Pusat Prestasi Keluarga di Pusat Medis MetroHealth di Cleveland, suatu ketika tampil selama 5 menit untuk wawancara dalam acara NBC TV’S Today membahas masalah anak kurang berprestasi yang berbakat. Topik dalam acara yang memang populer di Amerika ini mengundang lebih 2.000 tanggapan melalui telepon dan ribuan surat para orang tua dari segala penjuru! Tanggapan yang terkesan luar biasa ini sebenarnya amat wajar terjadi dalam masyarakat yang memiliki kesadaran tinggi akan pentingnya peran sekolah dan keluarga dalam mendidik anak.
            Topik soal keberhasilan dan prestasi di sekolah selalu menarik bagi para orang tua. Begitu pula mengenai hal-hal yang menghambat prestasi anak. Sebuah studi di Amerika Serikat menemukan bahwa ternyata 10% sampai 20% anak yang drop out dari sekolah menengah memiliki jenjang kemampuan di atas rata-rata. Penelitian itu dilengkapi pula dengan masalah-masalah yang dianggap menjadi penyebabnya. Pertama kali disebut adalah televisi, disusul kebobrokan keluarga, siswa yang terlalu banyak dalam satu kelas, kesibukan di sekolah, tidak adanya integrasi rasial, tidak cukup waktu untuk pelajaran di kelas, kekurangan dana, dan disiplin yang rendah.
            Sindrom “prestasi di bawah kemampuan” cenderung menyebar luas, berjangkit bukan hanya di ruang-ruang kelas tetapi juga di banyak keluarga. Disadari masalah itu bisa mempengaruhi harga diri dan kualitas hidup si anak kelak. Dewasa ini, salah satu perhatian utama orang tua adalah pendidikan anak. Bimbingan orang tua mampu mempengaruhi keberhasilan belajar anak-anak di sekolah menjadi sebanding dengan IQ mereka, bahkan bisa jadi bakal melebihi. Seorang pakar pendidikan, Claire Safran, sebagaimana dikutip Reader’s Digest, menyatakan bahwa “baik buruknya anak Anda di sekolah sebagian besar bergantung pada Anda”. Hal senada diungkapkan pula oleh sebuah kelompok studi nasional di Amerika Serikat bahwa orang tua memainkan peranan menentukan dalam pendidikan anak. Baik buruknya prestasi belajar anak di sekolah berkaitan erat dengan bimbingan orang tua di rumah.
            Tentu saja, keberhasilan anak di sekolah tidak begitu saja terjadi. Baik orang tua maupun anak mesti kerja keras. Seperti diungkapkan William dan Susan Stainback, keduanya doktor dalam bidang pendidikan, bahwa anak-anak mesti belajar membuat jadwal dan setia menjalankannya, menggunakan keterampilan studi supaya mampu belajar secara efektif dan efisien, serta termotivasi menjadi yang unggul. Masih menurut mereka, para orang tua di Jepang dan negara-negara Asia percaya bahwa dengan kerja keras dan tekun setiap anak dapat menguasai tugas sekolah. Beberapa anak bahkan dapat menguasainya dengan lebih mudah dibandingkan anak-anak lainnya. Hasilnya, prestasi sekolah anak-anak itu lebih tinggi dibandingkan anak-anak lain seusia mereka.
            Barangkali bukan hanya kerja keras yang membuat prestasi belajar anak-anak itu unggul namun juga unsur afektif keluarga dan lingkungan yang mendukung. Hal ini disampaikan oleh A. Supratiknya, Ph.D., psikolog dan pakar pendidikan dari Universitas Sanata Dharma Jogjakarta. Menurutnya, anak-anak imigran dari Asia lebih unggul dari anak-anak Amerika antara lain karena anak-anak imigran ini di rumah masih mempunyai tradisi kehangatan keluarga, masih sempat bermain bersama, masih mengasuh adik, dan seterusnya. Unsur-unsur afektif ini yang cenderung makin menipis pada masyarakat modern. Mulai jarang ditemukan orang tua yang masih sabar mendampingi anaknya belajar, turut berjaga sampai larut malam, atau bangun pagi-pagi menemani anak menyiapkan materi ujian. Jangankan sejauh itu, barangkali saja orang tua enggan menghentikan nonton tayangan televisi, sementara anaknya sedang berjuang untuk belajar.
            Menarik, mengingat sepenggal kalimat Sylvia Rimm dalam pengantar buku yang ditulisnya, “Sewaktu mendekap anak kita yang baru lahir, kita merasakan ketakutan, tantangan, dan semangat saat menyadari beratnya tanggung jawab kita sebangai orang tua.” (F.X. Warindrayana)

Menggambar Huruf

Pada awalnya adalah gambar, yang melukiskan bentuk manusia, binatang, atau benda-benda. Itu tertera di dinding gua-gua, di zaman paleolitik, ketika orang ingin menyampaikan pesan. Bentuk “tulisan” awal ini dikenal sebagai piktograf, yang menggambarkan objek-objek konkret. Dari bentuk ini berkembang menjadi ideograf, yang menunjukkan suatu tindakan atau idea-idea abstrak dan imaginatif.
Kesulitan-kesulitan muncul seiring makin kompleksnya kehidupan dan perkembangan idea-idea baru. Kemudian berkembang sistem fonetik, yang mengaitkan lambang dengan bunyi. Pergeseran ini berlangsung dalam waktu ribuan tahun, seperti dialami bangsa-bangsa dengan kebudayaan tua semisal Mesir, Mesopotamia, dan China. Sistem fonetik ini kendati tidak selalu berhasil, tetapi diharapkan jadi lebih sederhana dan fleksibel mengikuti perkembangan.
Abjad atau alphabet, yang kita kenal sekarang ini, adalah sekumpulan lambang yang digunakan untuk mewakili bunyi bahasa. Abjad digunakan untuk mentranskripsi semua bunyi yang digunakan dalam semua bahasa, sedangkan tulisan cuneiform di Mesopotamia, hieroglif di Mesir, dan ideograf digunakan untuk mentranskripsi kata atau suku kata. Abjad modern hanya butuh 26 huruf, sedangkan lambang dalam tulisan Tiongkok ada beribu-ribu, ada ratusan lambang dalam sistem hieroglif, dan sekitar 600 lambang dalam cuneiform.
Keterampilan baca tulis ini kini menjadi modal utama manusia modern untuk menggauli dunia. Ia bisa menjadi alat untuk memahami pikiran orang lain dalam berbagai disiplin ilmu, alat mengomunikasikan gagasan, dan alat mengekspresikan diri. Kalau begitu, kapan sebaiknya seseorang mulai mempelajarinya?
Banyak orang dewasa menyangsikan kemampuan anak-anak untuk mempelajarinya. Bahkan, para guru Taman Kanak-Kanak pun masih berbeda pendapat tentang perlu tidaknya anak-anak TK diajari baca-tulis. Menurut kurikulum, murid TK hanya mendapatkan materi pelajaran dalam suasana bermain. Kalaupun baca-tulis diperkenalkan, itu mesti dalam suasana yang menyenangkan. Namun, pada kenyataannya sekolah dasar bakal memilah siswa yang sudah lancar baca-tulis dan yang belum. Perlakuan ini menimbulkan kekhawatiran banyak orang tua kalau-kalau si anak jadi “ketinggalan”. Guru TK pun merasa tidak nyaman ketika mantan anak didiknya termasuk kelompok yang belum lancar baca-tulis. Untuk menjawab kondisi tersebut, dewasa ini tumbuh kecenderungan Taman Kanak-Kanak mengajarkan baca-tulis sebagai persiapan memasuki SD. Tetapi, sudah siapkah anak-anak TK belajar baca-tulis?
Kita tidak bisa menerapkan cara-cara atau metode baca-tulis untuk anak SD di Taman kanak-Kanak. Sayangnya, kebanyakan TK “tradisional” mengadopsi begitu saja cara pembelajaran tersebut. Karena alphabet digunakan untuk mewakili bunyi bahasa, maka dianggap wajar kalau dalam pengajaran membaca dan menulis lebih banyak digunakan pendekatan bunyi (phonic approach). Harap tahu saja, ketika kita masih melakukan hal itu, negara-negara maju sudah meninggalkan metode tersebut. Alasannya, belajar membaca dan menulis sebenarnya merupakan konsekuensi dari pengembangan kemampuan berbahasa. Untuk anak prasekolah, pengembangan kemampuan berbahasa ini lebih utama. Kemampuan berbahasa dan sosialisasi anak dengan lingkungannya akan menentukan kemampuan anak memberi makna terhadap isi bacaan dan tulisan (construction of meaning) yang disodorkan kepadanya.
Kalau demikian memahaminya, tentu sedikitnya jumlah huruf dalam abjad kita tidak menjadikannya sederhana dan mudah dipelajari dalam fungsi sebenarnya. Kemampuan literasi seperti itu berkembang seiring perkembangan kognisi anak yang berhubungan dengan kemampuan berbahasa. Masalahnya, justru pada usia anak prasekolah aspek kognisi ini baru mulai berkembang. Aspek lainnya, seperti keterampilan motorik kasar dan motorik halus sudah lebih dahulu berkembang. Mungkin dengan berpijak pada tahap perkembangan inilah orang tua dan pendidik bisa mengenalkan “menulis” huruf, atau lebih tepatnya “menggambar” huruf, pada anak. Kegiatan ini sesuai tahap perkembangan keterampilan motorik halusnya, sekaligus memberikan stimulasi pengembangannya. Sementara itu, melatih kemampuan membacanya bisa dilakukan lebih dini, meski awalnya hanya “membaca” gambar-gambar, yang pelan-pelan disimbolkan ke rangkaian huruf-huruf, membentuk makna. Ini tentu membutuhkan kesabaran dan waktu lama, seperti evolusi piktograf di gua-gua purba hingga menjadi tulisan modern. (F.X. Warindrayana)

Moments I Have Loved!

            Apa yang bisa diberikan oleh sebuah buku? J. Lampe, SJ., yang pada 1972-1993 memimpin Penerbit Kanisius di Jogjakarta, suka mengutip puisi berjudul Moments I Have Loved! karya Louis L’Amour untuk menggambarkan salah satu jawabannya.

            Buku merupakan kemenangan manusia yang paling besar. Dengan duduk di perpustakaanku, aku hidup dalam sebuah mesin waktu. Dalam sekejap aku bisa pindah ke zaman apa pun, belahan mana pun di dunia, bahkan ke angkasa luar.
            Aku telah hidup dalam setiap masa sejarah. Aku telah mendengar perkataan Sang Buddha, berbaris bersama Aleksander, berlayar bersama kaum Viking, bersampan bersama orang Polinesia.
            Aku pernah berada di istana Ratu Elizabeth dan Louis XIV. Aku pernah menjadi teman Kapten Nemo, dan berlayar bersama Kapten Bligh sang dermawan. Aku pernah berjalan di agora dengan Sokrates dan Plato, dan mendengarkan Yesus berkotbah di atas bukit.
            Terpenting dari semuanya itu, aku bisa melakukannya lagi, kapan saja. Di dalam buku-buku itu! Aku tinggal meraihnya di rak, dan mengambilnya untuk menyusuri saat-saat paling menyenangkan itu.

            Sungguhkah membaca buku menjadi saat-saat yang paling menyenangkan? Dr. Franz Magnis-Suseno, guru besar filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, membenarkan hal itu melalui pengalaman sejak masa kecilnya. “Dengan membaca, suatu dunia luas dan menarik terbuka bagi saya. Saya selalu menikmatinya,” tulisnya dalam “Memanusiakan Buku - Membukukan Manusia” (1997). Ia mengenangkan masa kecilnya, saat ibunya rutin tiap malam selama setengah jam membacakan buku yang sesuai dengan daya tangkap anaknya.
            Pada usia delapan tahun, ia mulai membaca sendiri. Buku-buku advonturir seperti Last Mohican, dan kemudian buku-buku Karl May dilalapnya. Pernah, di usia sepuluh tahun, karena membaca begitu banyak buku ibunya khawatir dan memperingatkan agar ia mengurangi membaca. Tapi itu tak digubrisnya. Pada usia lima belas tahun ia sudah asyik menelan sastra modern sungguhan. Ia membaca karya-karya Dostoyevski. Tak ketinggalan dibacanya 3 jilid Saudara Karamasov dalam edisi yang tidak dipersingkat setebal 1.800 halaman. Ia juga membaca karya-karya Tolstoy dan Gogol serta para penulis roman Jerman. Ia juga mengaku terpesona oleh penulis-penulis Prancis seperti Bernanos dan Mauriac. “Sulit saya bayangkan masa muda saya, andaikata tidak membaca terus-menerus. Membaca bagi saya suatu pengalaman kebebasan, di mana sekaligus fantasi mendapat sayap dan betul-betul terbang,” katanya.
            Sejalan dengan itu Dr. Lucia Binder, peneliti bacaan anak dari Austria, mengungkapkan bahwa fantasi tak boleh berhenti. Sastra anak mesti merangsang fantasi menuju ke refleksi dan opini pribadi. Di masa lampau orang tua ingin melindungi anak-anak dari penderitaan dan menjauhkan mereka dari penggambarandunia kehidupan yang terlalu realistis. Segala sesuatu yang menyedihkan dan dianggap bisa membuat anak mengucurkan air mata selalu dihindari. Sedapat-dapatnya diupayakan anak tidak melihat dan mendengar kejadian penuh penderitaan yang menyedihkan. Dunia anak adalah dunia yang indah, yang tabu untuk dicemari. Namun, pemikiran itu kini terkikis. Perkembangan multimedia cenderung menjadikan anak telah berkenalan dengan realitas dan persoalan kehidupan lebih dini dibanding masa lalu.
            Buku anak semestinya mengikuti perkembangan ini. Ursula Wolfel, misalnya. Penulis Jerman ini dalam bukunya The Gray and The Green Fields, menyampaikan cerita-cerita realistis tentang anak-anak yang mengalami kesulitan; seorang anak Amerika Latin yang mengalami ketidakadilan sosial; seorang anak laki-laki yang mengalami kengerian perang; seorang anak Afrika Selatan yang mengalami rasialisme; dan lain sebagainya.
            Penderitaan memang menyusahkan namun itulah fakta yang mesti diketahui pula oleh anak-anak. Bukankah kehidupan itu sendiri berunsur susah dan senang, untung dan malang? Berangkat dari berbagai cerita itu pikiran anak bisa menjadi terbuka. Pada dasarnya, buku memang bukan tujuan terakhir. Ia hanyalah sekadar media yang mengemban fungsi mulia menyampaikan informasi kepada pembaca. Dan, yang utama bukanlah membaca, melainkan mengerti makna isi buku untuk kemudian didayagunakan secara produktif dan konstruktif.      
            Tetapi, kapankah membaca bakal dialami menjadi saat-saat paling menyenangkan seperti ditulis Louis L’amour, atau menjadi pengalaman kebebasan karena bisa terbang dengan sayap-sayap fantasi seperti dialami Franz Magnis-Suseno? Mungkin, suatu ketika nanti, saat buku-buku bacaan yang baik dan tepat untuk anak sudah mudah dijumpai. Dan, sejak kanak-kanak orang sudah terbiasa mencintai dan membaca sendiri buku-bukunya. (F.X. Warindrayana)

Ketika Terlalu Banyak Tepuk Tangan


            Kamar Pearl, bocah kelas III SD, tertata rapi. Kertas-kertas bersih dan rapi. Meja bersih dan rapi. Pearl yang sempurna selalu bekerja sebaik mungkin. Ia tidak pernah menimbulkan masalah di rumah maupun di sekolah. Tulisan tangan mendapat nilai A, pengejaan pun bagus. Tetapi, hari ini Pearl tidak menyelesaikan tugasnya.
            Hari ini Ibu Jones, guru kelasnya, memberikan tugas kepada murid-murid untuk menulis cerita karangan mereka. Murid-murid yang lain sudah mulai menulis sejak 20 menit yang lalu, tetapi Pearl belum menulis sepatah kata pun. Akhirnya, dengan takut-takut ia mengangkat tangannya. “Ibu Jones,” katanya setengah merengek, “Saya tidak tahu apa yang harus saya tulis.” Ibu Jones kebingungan, mengapa Pearl yang begitu cerdas, yang biasa menyelesaikan halaman buku kerjanya dengan sempurna, dan yang menggunakan tata bahasa tanpa cela, tidak dapat menentukan satu topik untuk karangan satu halaman? Ibu Jones memberi beberapa saran, dan Pearl mendengarkan dengan tenang. Air matanya mengambang, “Ibu Jones, bagaimana saya dapat menulis suatu cerita jika tidak menemukan topik yang sempurna?”
            Pearl mulai menghadapi masalah. Selama tugasnya nyata dan khusus, ia berprestasi baik. Tetapi, ketika ia harus berpikr abstrak, menarik kesimpulan berdasarkan penalaran, mengeluarkan gagasannya sendiri, atau mengambil tindakan berisiko, ia menjadi lumpuh karena takut gagal. Pearl yang berbakat, yang sejak bersekolah berada di puncak kelas, mulai merosot menjadi siswa yang pas-pasan di sekolah menengah.
            Kasus Pearl hanyalah salah satu contoh yang diajukan Dr. Sylvia Rimm, Direktur Pusat Prestasi Keluarga di Pusat Medis Metrohealth di Cleveland dan Guru Besar Klinis di Case Western Reserve University School of Medicine, penulis buku Why Bright Kids Get Poor Grades. Rimm memberikan peringatan bahwa anak berbakat sangat rawan menjadi kurang berprestasi. Lingkungan keluarga dan pengalaman bersekolah amat berpengaruh pada masa kanak-kanak. “Semua anak berbakat yang saya lihat di Family Achievement Clinic, sekurang-kurangnya mempunyai satu orang dewasa yang terlibat pada awal tahun pertama anak,” kata Rimm. Dalam proses keterlibatan ini ada risiko anak pada umumnya akan tergantung pada hubungannya dengan orang dewasa. Atau, anak akan menjadi “berkuasa” karena otoritas yang diberikan oleh orang dewasa.
            Pada anak berbakat, masih ada risiko tambahan. Biasanya, anak berbakat memiliki perbendaharaan kata yang banyak, komentarnya cerdas, penalarannya seperti orang dewasa. Atau, memiliki kemampuan lebih di bidang seni dan lainnya. Semuanya itu menarik lebih banyak perhatian orang dewasa di sekitarnya, daripada perhatian yang biasa mereka berikan pada anak-anak lain. Mereka terus menerus menunjukkan kekaguman dan memberikan tepuk tangan kepada si anak berbakat.
            Tetapi, apa sebenarnya yang dimaksud dengan berbakat? Dalam seminar nasional bertajuk “Alternatif Program Pendidikan bagi Anak Berbakat” dirumuskan bahwa “yang dimaksud dengan anak berbakat ialah mereka yang karena memiliki kemampuan-kemampuan yang unggul mampu memberikan prestasi yang tinggi”. Kemampuan-kemampuan itu antara lain meliputi intelektual umum, akademik khusus, berpikir kreatif-produktif, salah satu bidang seni, psikomotorik/kinestetik, dan psikososial. Kalangan pendidik dan psikolog dewasa ini lebih mengartikan keberbakatan seorang anak tidak hanya dari tingkat kemampuan yang tinggi, tetapi juga kreativitas dan komitmen terhadap tugas (minat) serta motivasi untuk berprestasi.
            Potensi keberbakatan memang tidak terlepas dari unsur genetis atau kemampuan dasar, namun tetap saja dibutuhkan adanya kondisi yang memberikan kesempatan agar kemampuan dasar tersebut berkembang. Lembaga-lembaga khusus bagi pengembangan keberbakatan anak di Indonesia, seperti yang dikembangkan oleh Prof. Dr. Utami Munandar di Jakarta, masih amat kurang. Karenanya, peran orang tua, sekolah, dan masyarakat amat dibutuhkan. Sayangnya, respons mereka atas kemampuan lebih seorang anak kadang amat berlebihan. Mereka terlalu bersemangat memberi tepuk tangan, sehingga dalam diri si anak tertanam pemahaman bahwa dirinya hebat. Orang tua mungkin perlu diingatkan bahwa anak berbakat tetaplah seorang anak, dengan kebutuhan-kebutuhan seperti anak yang lain; dan keberbakatan adalah sekunder. Dengan demikian anak bakal bertumbuh wajar, tidak seperti Pearl yang mematok tinggi targetnya dan tidak siap gagal. Juga, tak perlu prestasinya jadi melorot tajam seiring keyakinan dirinya yang merosot ketika mengalami kegagalan. (F.X. Warindrayana)

Dewi Musik


 Suatu ketika, Zeus dewa tertinggi dalam pantheon Yunani hadir di angkasa Salzburg, Austria. Negeri yang masyarakatnya amat menghargai musik itu memang sengaja menghadirkannya, menyertai putrinya Mousa, sang dewi musik. Ceritanya, mereka sedang punya hajat menyelenggarakan Festival Musik Salzburg, dihadiri ribuan orang yang datang menonton acara pembukaannya.
Sebuah helikopter Euro Fighter Typhoon melakukan atraksi udara dalam lakon mitologi Yunani kuno memerankan Zeus. Sementara itu, empat helikopter tempur Black Hawk seperti dayang-dayang mengiringi. Masing-masing dikemudikan pilot dengan didampingi seorang pemain biola dari Kwartet Stadier, memainkan antara lain repertoar klasik karya Karl Heinz Stockhausen, dalam atraksi Helicopter String Quartet. Keempat heli itu meliuk-liuk indah mengikuti irama, digelayuti para pemain teater. Tampak paling menonjol seorang artis bergaun putih panjang, membuat gerakan gemulai berkelebatan dan melayang-layang, juga dengan tubuh terikat seutas tali menggantung dari heli. Tak salah lagi, dialah Mousa atau Muse dalam versi Inggrisnya, sang dewi musik yang membuat kagum para penonton.
Dalam mitologi Yunani, Mousa adalah salah satu dari sembilan anak Zeus dengan Mnemosyne. Ia begitu dihormati oleh masyarakat Yunani dan Eropa pada umumnya, hingga dibuatkan istana sebagai tempat tingalnya. Mereka menyebutnya mouseion. Kita menyebutnya museum. Arti kata ini menurut Guillaume Bude (1554) adalah “…a place dedicated to Muse and to study, where one engages oneself in noble disciplines”. Kediaman sang dewi ini dimengerti sebagai tempat belajar, tempat seseorang menghayati kemuridan. Maklum, bagi bangsa Yunani musik diidentikkan sebagai budaya intelektual secara umum.
Tengok saja pendapat Pythagoras (582-496 SM) yang menyatakan bahwa harmoni dalam musik berkorespondensi dengan perbandingan dua buah bilangan bulat. Bila kita mempunyai dua utas dawai yang diregangkan dengan ketegangan yang sama maka perbandingan panjang kedua dawai tadi pasti 2:1 untuk menghasilkan nada keenam, 3:2 untuk nada kelima, dan 4:3 untuk nada keempat. Pythagoras dan para muridnya mempercayai bahwa alam semesta ini dipenuhi oleh interval musik. All is number. Bagi kaum Pythagorean, musik berkorelasi dan termasuk empat kategori sains: aritmatika, geometri, astronomi, dan musik sendiri.
Tak lama kemudian, Plato (428-348 SM) dan kalangan orang sezaman sudah menganggap bahwa matematika dan musik tidak hanya menjadi ukuran bagi orang cerdas, tetapi juga kriteria bagi orang terdidik. Terdidik memang mengandaikan lebih lengkap daripada sekadar memiliki kecerdasan intelektual melulu. Aristoteles (384-322 SM), murid Plato, menjelaskan bahwa musik menggambarkan emosi dan keadaan jiwa seseorang. Emosi yang menjiwai lagu tersebut bisa mempengaruhi orang yang mendengarkan. Menurutnya, jika seseorang mendengarkan musik yang baik maka akan menjadi orang yang baik pula.
Tokoh-tokoh musik Gereja abad ke-4 meyakini pendapat itu. Augustinus (354-430) dan Ambrosius, misalnya, mengakui kekuatan musik untuk kebaikan. Pada masa abad pertengahan ketika Gereja memegang peranan penting dalam dunia pendidikan, musik mendapat perhatian besar dengan adanya sekolah musik. Pada masa Renaissance teori musik digabungkan dengan matematika dan astronomi. Kurikulum pendidikan saat itu dibagi menjadi quadrivium of geometry, arithmetic, music, and astronomy dan trivium of grammar, dialectic and rhetoric. Pada masa ini sudah jamak seorang artis maupun peneliti mesti menguasai musik, yang bakal berdampak pada taraf hidup mereka.
Jean-Jacques Rousseau (1712-1778), filsuf Prancis, menulis proposal mendetail tentang pelatihan musik dan pendidikan ideal bagi seorang murid. Johan Pestalozzi (1746-1827), murid Rousseau, menekankan pula pentingnya musik dalam dunia pendidikan. Menurutnya, musik membantu anak mengharmonisasikan dan menghafal berbagai macam karakter ilmu lain.
Suatu ketika, para peneliti dari Universitas California mengumumkan bahwa belajar musik pada usia dini dapat meningkatkan kecerdasan dalam jangka panjang. Isu ini berkembang menjadi wacana publik menyambung perbincangan soal kecerdasan setelah Gardner mengembuskan teori barunya mengenai multiple intelligences. Tetapi, sebenarnya, apa yang baru dari peran musik dan pengaruhnya bagi kecerdasan, karena sejak dulu pun sudah dipahami begitu? Kini, seakan hal baru, orang jadi ramai-ramai berupaya mengoptimalkan pengaruh musik dan menawarkannya sebagai alternatif merangsang kecerdasan anak.
Di tengah riuhnya perbincangan soal pengaruh musik dalam pendidikan ini, menarik menyimak kata-kata Profesor Yang Hongnian (1934) dari Konservatori Musik Pusat Tiongkok. Guru dan dirigen yang membawa paduan suara anak-anak Tiongkok menjadi salah satu dari tujuh paduan suara anak-anak terbesar di dunia ini suatu ketika mengingatkan, “Pertama, seorang guru harus mencintai anak karena guru yang mencintai anak akan rela mengorbankan segalanya untuk anak.” Nasihat berikutnya baru masalah teknis soal musik. (F.X. Warindrayana)

BIOLA


            The Violin Player (1994), album perdana Vanessa-Mae, meraih sukses luar biasa. Penjualan album dengan tampilan cover Vanessa berbaju basah sehingga tubuhnya tampak lengket tercetak - seksi banget! - itu meraih tiga platinum. Keseksian yang eksotis, sempat lengket mencitrakan dirinya. Karena itukah ia sukses? Eit... jangan tergesa-gesa. Ia sendiri menolak gambaran itu. “Seksi? Oh, tidak!” sergahnya, “Saya tidak bermaksud tampil seksi. Saya hanya ingin memberikan kesan menarik dan orisinal. Mungkin sama halnya dengan Marilyn Manson yang selalu berdandan ala setan dan memecahkan barang-barang pada setiap pertunjukannya,” sambungnya. Apa pun katanya orang masih saja melihat keseksian menjadi bagian dari daya tariknya. Ingat saja salah satu klipnya, “Destiny” dari album Subject to Change (2001), misalnya. Vanessa tampil mengenakan gaun dengan belahan tinggi. Bahannya lembut, sehingga saat angin menerpa, siluet bentuk tubuhnya tercipta. Inilah mungkin yang disebut eksotis itu, bukan erotis. Sebuah pesona yang bercita rasa dan jauh dari kenorakan yang memualkan.
            Masih ingat aksi panggungnya di Jakarta beberapa waktu lalu? Ia dan biolanya seakan menjadi sihir yang mampu menghipnotis sekitar 1.400 penonton yang memadati Ballroom Hotel Grand Melia. Vanessa dalam balutan gaun model you can see membuktikan bahwa ia tak sekadar menjual keseksian. Meski, agaknya ia sadar benar bahwa di luar urusan musik, wajah cantik dan estetika penampilan tubuhnya juga menjadi bagian penting performance di atas panggung. Dengan gerak lincah ia mengisi setiap sudut kosong. Kadang membelakangi penonton sambil terus bermain atraktif. Bahasa tubuhnya terus berbicara, bersama kematangan teknik dan kecepatannya menggesek biola.
            Tak berlebihan, Addie MS berkomentar singkat, “Bagus!” Bagi dedengkot Twilite Orchestra itu, pencapaian estetis musisi semuda Vanessa patut diacungi jempol. Vanessa memang identik sebuah fenomena. Ia muncul menjadi ikon baru musik klasik. Tetapi, sekaligus ia juga dijuluki duta agung dunia musik klasik ke dunia musik pop yang gemerlap. Ia tidak hanya mempersembahkan musik klasik secara konservatif-konvensional, tetapi juga mengemas karya-karya klasik dengan nuansa pop, jazz, maupun rock. Meski, yang terakhir ini sebenarnya bukan hal baru tapi kebanyakan musisi melakukannya dalam sebuah kelompok musik lengkap. Sedangkan Vanessa secara istimewa bermain solo. Seperti malam itu, ia sempat memainkan komposisi popular, Toccata, karya Sebastian Bach dan komposisi karya Vivaldi, Solace. Sementara itu, Destiny dan Storm ditampilkan dalam komposisi bernuansa rock yang mengundang penonton mengiringi dengan tepuk tangan ritmis. Storm bahkan sempat dibawakannya lagi dengan versi remix. Pertunjukannya malam itu adalah gabungan pesona teknik piawai memainkan biola dan pesona bahasa tubuhnya yang memukau. Tak heran aksi panggungnya itu sempat digelari The Biggest Concert of The Year.
            Vanesa lahir di Singapura tahun 1979, pada tanggal yang sama dengan kelahiran idolanya, Paganini. Ibu Cina-Singapura dan ayah Thailand, memberinya nama lengkap Vanessa-Mae Vanakorn Nicholson. Usianya 4 tahun saat mereka pindah ke London. Vanessa belajar piano sejak usia 3 tahun, dua tahun kemudian pindah ke biola. Ia pertama kali belajar biola di London, sebelum kemudian berguru pada Profesor Lin Yao Jie pada The National Conservatoire Of Music di Beijing. Selanjutnya, ia menyempurnakan teknik dan gayanya di London’s Royal College of Music.
            Orang mungkin hanya terpukau oleh pencapaiannya. Tetapi barangkali hanya sedikit yang tahu dan peduli bahwa ia telah berjuang keras dan amat lama untuk itu. Di masa kecilnya, ketika banyak teman sebaya masih bermain boneka, ia sudah harus belajar menjepit biola mungil dengan dagunya. Siang malam ia berlatih dan menjaga benda itu dekat dengan lehernya agar tidak terjatuh. Pada usia 11 tahun ia sudah memainkan dengan fasih karya-karya Mozart, Tchaikovsky, dan Beethoven. Pada usianya itu ia sudah tampil dipanggung profesional bersama The London Philharmonic (1989). Tahun berikutnya ia ambil bagian dalam tur bersama The London Mozart Players. Ketika harus promo album perdananya, ia mampu menjelajah panggung di 33 negara. Albumnya itu langsung menggebrak pasar, yang membuat dirinya dinominasikan sebagai Best British Female dalam BRIT Award (1996).
            Siapa tokoh penentu suksesnya itu? Ternyata, orang tua dan guru-gurunya banyak terlibat. Di usianya yang dini itu guru-gurunya melihat bakat luar biasa dalam dirinya. “Guru-guru saya kagum luar biasa melihat kemajuan saja dalam menggesek biola. Lalu, mereka memberitahukannya kepada orang tua saya tentang bakat musik yang menjanjikan itu,” kata Vanessa dalam sebuah wawancara. Tidak sampai di situ, mereka juga menganjurkan orang tua Vanesa untuk mengarahkan minat anaknya pada biola lebih serius lagi. Kerja sama yang bagus antara guru dan orang tua dalam melihat, menumbuhkan, dan mengarahkan minat anaknya terasa klop ketika Vanessa pun tak pernah merasa terpaksa. “Saya mempunyai hubungan istimewa dengan biola saya. Sejak kanak-kanak saya sudah sangat tertarik pada instrumen yang sempurna tersebut, pas benar dilekatkan di bawah dagu. Bagi saya, biola itu seperti boneka atau binatang kesayangan,” kata Vanessa mengenang masa kecilnya.
            Banyak pengalaman menunjukkan bahwa bintang yang sukses pada usia relatif belia sebenarnya telah menjadi korban perampokan masa kanak-kanaknya. Begitu jugakah Vanessa? “Saya selalu diperbolehkan melakukan segala sesuatu yang menyenangkan diri saya. Tidak seorang pun yang memaksa saya melakukan hal ini. Orang tua hanya mengatakan ‘Kamu harus mengerjakan sesuatu dengan serius. Kamu wajib menjadi manusia yang tahu bertanggung jawab’. Itu yang saya pelajari pada masa kecil,” katanya arif. (F.X. Warindrayana)
 
Free Website templateswww.seodesign.usFree Flash TemplatesRiad In FezFree joomla templatesAgence Web MarocMusic Videos OnlineFree Wordpress Themes Templatesfreethemes4all.comFree Blog TemplatesLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesSoccer Videos OnlineFree Wordpress ThemesFree Web Templates