twitter
    Find out what I'm doing, Follow Me :)

Lagu Terima Kasih

           
            “Di waktu ku masih kecil, gembira dan senang. Tiada duka kukenal, tak kunjung mengerang. Di sore hari nan sepi, ibuku bertelut; sujud berdoa, kudengar namaku disebut. Di doa ibuku, namaku disebut….”
            Suara bocah yang melantunkannya, Natashia Nikita, terdengar polos menggetarkan perasaan. “Saat Nikita menyanyi, banyak orang tua tak mampu menahan tangis haru,” kata Lili Tanjaya, ibunya, kepada Familia. Kendati bukan Nikita yang melantunkan, keharuan toh muncul juga di tengah jemaat IFGF/GISI Everett-Washington ketika lagu itu bergema. Ceritanya, waktu itu ada conference para walikota seluruh Asia Tenggara di Seattle Convention Center. Pada hari Minggu, Drs. Wempie Fredrik, walikota Manado waktu itu yang hadir bersama istri sempat merayakan kebaktian bersama jemaat IFGF/GISI. Hari itu tanggal 13 Mei, bertepatan Mother’s Day yang dirayakan oleh seluruh warga AS. Para ibu diminta maju ke depan dan anak-anak menyanyikan lagu tersebut. Tak pelak lagi, para orang tua tidak mampu menahan keharuan. Apalagi, di akhir lagu satu per satu anak-anak itu menyampaikan ucapan terima kasih disertai ucapan, “I love you, Mom!”
            Mengapa ibu? Mungkin, karena ibu identik dengan pengasuhan anak-anak yang di dalamnya termuat kedekatan dan kehangatan. Secara tradisional, pengasuhan anak merupakan bagian dari tugas ibu rumah tangga dalam fungsinya mengasuh dan mendidik. Jenis pekerjaan yang dikenal dengan istilah unpaid work ini kadang memang kurang mendapat penghargaan. Padahal, dilihat dari beban kerjanya menurut hasil survei Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP), total jam kerja perempuan di hampir semua negara, termasuk di dalamnya pekerjaan tak berupah, lebih lama dari total jam kerja laki-laki yang bekerja di sektor formal. Jumlah jam kerja tak dibayar yang dilakukan laki-laki tidak sampai seperempat total jam kerja mereka, sementara itu perempuan mencapai dua pertiga. Kendati begitu, nyaris tak terdengar protes para ibu menuntut hak atas beban sosial dan ekonomi yang ditanggungnya. Mereka tetap tulus melakukan tugasnya. Ironis, kalau karena itu lalu secara sosial, masyarakat cukup berterima kasih dan menghormati para ibu dengan sebuah seremoni yang diberi tajuk Hari Ibu.
            Sayang, Drs. Wempie Fredrik hanya mengalami Mother’s Day dalam kunjungannya ke Washington karena sebenarnya di sana dikenal pula Father’s Day. Di negara-negara yang masyarakatnya lebih maju, soal pengasuhan sudah dihayati sebagai tanggung jawab bersama. Suami dan istri memerankan fungsi ayah dan ibu bagi anaknya dengan kompak. Tengok saja penuturan Benoit Methot seperti ditulis Tina dari Today’s Parent. Insinyur mekanik dari Quebec ini musim panas lalu mengambil cuti selama tiga bulan penuh untuk merawat bayi perempuannya di rumah. Ketika Ariane, putri tersayangnya itu berusia tujuh bulan, Sharon Coyle, istrinya, kembali bekerja. Karena tak mau menitipkan anak di TPA, mereka sepakat bahwa sang ayah akan ganti tinggal di rumah merawat Ariane. Pada bulan September Methot sudah kembali bekerja, dan mengatakan bahwa tiga bulan kemarin adalah masa paling istimewa yang pernah dialaminya.
            Drew dan Valerie Ellis, pasangan dari Ontario ini pun bisa diambil sebagai misal. Mereka menyusun jadwal kerja masing-masing dengan serius sehingga bisa bergantian merawat Cleary, anak mereka. Valerie selalu bangun pukul 03.30 dini hari dan bekerja dari pukul 05.00 sampai siang di YMCA. Lalu, ia segera pulang supaya Drew dapat bersiap-siap untuk bekerja pada pukul 15.00. “Kami terbiasa berkomunikasi lewat catatan yang kami tinggalkan di rumah,” kata Drew mengenang masa-masa awal putrinya.
            Apakah semua ayah di sana seperti Methot atau Drew? Tentu tidak. Tetapi, ada kecenderungan ayah masa kini lebih mau terlibat dalam pengasuhan anak. Menurut Josep Pleck, psikolog sosial dari University of Illinois di Urbana, paling tidak ada delapan studi yang menegaskan bahwa para ayah masa kini lebih dekat dengan anak-anaknya dan meyediakan waktu lebih banyak untuk mereka. Ini berawal sejak munculnya kecenderungan para ibu untuk bekerja sejak tahun 1970-an. Tak bisa dihindari, dewasa ini pun struktur keluarga Indonesia tengah mengalami proses transformasi sosial dari keluarga batih (extended family) menuju keluarga inti. Dampaknya, pasangan suami-istri tak bisa lagi mengalihkan fungsi pengasuhan anak kepada kerabat serumah. Mereka mesti kompak berperan sebagai ayah dan ibu kalau tak mau menyerahkan anak ke TPA.
            Konflik internalnya adalah sang ibu bingung mengatur waktu agar bisa bekerja di sektor formal, sementara sang ayah bingung mengatur waktu untuk anak. Perubahan akan terjadi bertahap. Para ayah tak canggung lagi melakukan tugas pengasuhan. Kini tak mustahil, anak bisa menjadi lebih dekat dengan ayahnya daripada dengan ibunya. Gaya pengasuhan ayah yang cenderung rasional, memberi alasan kalau melarang, atau mampu memberi rasa nyaman dan senang dalam bermain, menjadikan sosoknya tak lagi ditakuti anak seperti di masa lalu. Suatu saat bakal muncul juga lagu-lagu yang mengungkapkan kebanggaan seorang anak terhadap ayahnya. Tetapi, entahlah, apakah para ayah membutuhkan lagu. Atau, sebenarnya para ibu pun tak membutuhkannya karena keduanya tulus mengasuh anaknya. (F.X. Warindrayana)

Menyiapkan Kesuksesan

            Seorang ibu guru berdiri di depan pintu kelas. Setiap musim gugur, ia selalu memperhatikan pemandangan yang sama. Anak-anak dengan wajah berseri, pakaian bersih dan rapi, serta sepatu baru mengkilap memasuki kelas. Saat memandang ekspresi wajah-wajah polos itu, benaknya selalu digoda pertanyaan-pertanyaan. Apa yang bakal terjadi dalam tahun ajaran ini? Akankah anak-anak ini belajar dan berkembang penuh percaya diri? Akankah kelas ini menjadi baik atau akan timbul berbagai masalah? Anak-anak mana yang bakal menjadi bintang, dan mana yang bakal menjadi gangguan?
            Setiap awal tahun ajaran baru menimbulkan berbagai pertanyaan dan tantangan di benak para guru. Mereka ingin semua muridnya berhasil di kelas. Kegelisahan dan harapan yang sama muncul juga di benak para orang tua. Mereka pun tahu di antara sekian banyak anak pasti ada yang semangatnya lemah, tidak mau berusaha maksimal, dan butuh selalu diberi motivasi. Adakah anaknya termasuk dalam kategori itu? Sama seperti para guru, orang tua pun ingin anaknya berhasil di sekolah.
            Sylvia Rimm, doktor psikologi pendidikan dan Direktur Pusat Prestasi Keluarga di Pusat Medis MetroHealth di Cleveland, suatu ketika tampil selama 5 menit untuk wawancara dalam acara NBC TV’S Today membahas masalah anak kurang berprestasi yang berbakat. Topik dalam acara yang memang populer di Amerika ini mengundang lebih 2.000 tanggapan melalui telepon dan ribuan surat para orang tua dari segala penjuru! Tanggapan yang terkesan luar biasa ini sebenarnya amat wajar terjadi dalam masyarakat yang memiliki kesadaran tinggi akan pentingnya peran sekolah dan keluarga dalam mendidik anak.
            Topik soal keberhasilan dan prestasi di sekolah selalu menarik bagi para orang tua. Begitu pula mengenai hal-hal yang menghambat prestasi anak. Sebuah studi di Amerika Serikat menemukan bahwa ternyata 10% sampai 20% anak yang drop out dari sekolah menengah memiliki jenjang kemampuan di atas rata-rata. Penelitian itu dilengkapi pula dengan masalah-masalah yang dianggap menjadi penyebabnya. Pertama kali disebut adalah televisi, disusul kebobrokan keluarga, siswa yang terlalu banyak dalam satu kelas, kesibukan di sekolah, tidak adanya integrasi rasial, tidak cukup waktu untuk pelajaran di kelas, kekurangan dana, dan disiplin yang rendah.
            Sindrom “prestasi di bawah kemampuan” cenderung menyebar luas, berjangkit bukan hanya di ruang-ruang kelas tetapi juga di banyak keluarga. Disadari masalah itu bisa mempengaruhi harga diri dan kualitas hidup si anak kelak. Dewasa ini, salah satu perhatian utama orang tua adalah pendidikan anak. Bimbingan orang tua mampu mempengaruhi keberhasilan belajar anak-anak di sekolah menjadi sebanding dengan IQ mereka, bahkan bisa jadi bakal melebihi. Seorang pakar pendidikan, Claire Safran, sebagaimana dikutip Reader’s Digest, menyatakan bahwa “baik buruknya anak Anda di sekolah sebagian besar bergantung pada Anda”. Hal senada diungkapkan pula oleh sebuah kelompok studi nasional di Amerika Serikat bahwa orang tua memainkan peranan menentukan dalam pendidikan anak. Baik buruknya prestasi belajar anak di sekolah berkaitan erat dengan bimbingan orang tua di rumah.
            Tentu saja, keberhasilan anak di sekolah tidak begitu saja terjadi. Baik orang tua maupun anak mesti kerja keras. Seperti diungkapkan William dan Susan Stainback, keduanya doktor dalam bidang pendidikan, bahwa anak-anak mesti belajar membuat jadwal dan setia menjalankannya, menggunakan keterampilan studi supaya mampu belajar secara efektif dan efisien, serta termotivasi menjadi yang unggul. Masih menurut mereka, para orang tua di Jepang dan negara-negara Asia percaya bahwa dengan kerja keras dan tekun setiap anak dapat menguasai tugas sekolah. Beberapa anak bahkan dapat menguasainya dengan lebih mudah dibandingkan anak-anak lainnya. Hasilnya, prestasi sekolah anak-anak itu lebih tinggi dibandingkan anak-anak lain seusia mereka.
            Barangkali bukan hanya kerja keras yang membuat prestasi belajar anak-anak itu unggul namun juga unsur afektif keluarga dan lingkungan yang mendukung. Hal ini disampaikan oleh A. Supratiknya, Ph.D., psikolog dan pakar pendidikan dari Universitas Sanata Dharma Jogjakarta. Menurutnya, anak-anak imigran dari Asia lebih unggul dari anak-anak Amerika antara lain karena anak-anak imigran ini di rumah masih mempunyai tradisi kehangatan keluarga, masih sempat bermain bersama, masih mengasuh adik, dan seterusnya. Unsur-unsur afektif ini yang cenderung makin menipis pada masyarakat modern. Mulai jarang ditemukan orang tua yang masih sabar mendampingi anaknya belajar, turut berjaga sampai larut malam, atau bangun pagi-pagi menemani anak menyiapkan materi ujian. Jangankan sejauh itu, barangkali saja orang tua enggan menghentikan nonton tayangan televisi, sementara anaknya sedang berjuang untuk belajar.
            Menarik, mengingat sepenggal kalimat Sylvia Rimm dalam pengantar buku yang ditulisnya, “Sewaktu mendekap anak kita yang baru lahir, kita merasakan ketakutan, tantangan, dan semangat saat menyadari beratnya tanggung jawab kita sebangai orang tua.” (F.X. Warindrayana)

Menggambar Huruf

Pada awalnya adalah gambar, yang melukiskan bentuk manusia, binatang, atau benda-benda. Itu tertera di dinding gua-gua, di zaman paleolitik, ketika orang ingin menyampaikan pesan. Bentuk “tulisan” awal ini dikenal sebagai piktograf, yang menggambarkan objek-objek konkret. Dari bentuk ini berkembang menjadi ideograf, yang menunjukkan suatu tindakan atau idea-idea abstrak dan imaginatif.
Kesulitan-kesulitan muncul seiring makin kompleksnya kehidupan dan perkembangan idea-idea baru. Kemudian berkembang sistem fonetik, yang mengaitkan lambang dengan bunyi. Pergeseran ini berlangsung dalam waktu ribuan tahun, seperti dialami bangsa-bangsa dengan kebudayaan tua semisal Mesir, Mesopotamia, dan China. Sistem fonetik ini kendati tidak selalu berhasil, tetapi diharapkan jadi lebih sederhana dan fleksibel mengikuti perkembangan.
Abjad atau alphabet, yang kita kenal sekarang ini, adalah sekumpulan lambang yang digunakan untuk mewakili bunyi bahasa. Abjad digunakan untuk mentranskripsi semua bunyi yang digunakan dalam semua bahasa, sedangkan tulisan cuneiform di Mesopotamia, hieroglif di Mesir, dan ideograf digunakan untuk mentranskripsi kata atau suku kata. Abjad modern hanya butuh 26 huruf, sedangkan lambang dalam tulisan Tiongkok ada beribu-ribu, ada ratusan lambang dalam sistem hieroglif, dan sekitar 600 lambang dalam cuneiform.
Keterampilan baca tulis ini kini menjadi modal utama manusia modern untuk menggauli dunia. Ia bisa menjadi alat untuk memahami pikiran orang lain dalam berbagai disiplin ilmu, alat mengomunikasikan gagasan, dan alat mengekspresikan diri. Kalau begitu, kapan sebaiknya seseorang mulai mempelajarinya?
Banyak orang dewasa menyangsikan kemampuan anak-anak untuk mempelajarinya. Bahkan, para guru Taman Kanak-Kanak pun masih berbeda pendapat tentang perlu tidaknya anak-anak TK diajari baca-tulis. Menurut kurikulum, murid TK hanya mendapatkan materi pelajaran dalam suasana bermain. Kalaupun baca-tulis diperkenalkan, itu mesti dalam suasana yang menyenangkan. Namun, pada kenyataannya sekolah dasar bakal memilah siswa yang sudah lancar baca-tulis dan yang belum. Perlakuan ini menimbulkan kekhawatiran banyak orang tua kalau-kalau si anak jadi “ketinggalan”. Guru TK pun merasa tidak nyaman ketika mantan anak didiknya termasuk kelompok yang belum lancar baca-tulis. Untuk menjawab kondisi tersebut, dewasa ini tumbuh kecenderungan Taman Kanak-Kanak mengajarkan baca-tulis sebagai persiapan memasuki SD. Tetapi, sudah siapkah anak-anak TK belajar baca-tulis?
Kita tidak bisa menerapkan cara-cara atau metode baca-tulis untuk anak SD di Taman kanak-Kanak. Sayangnya, kebanyakan TK “tradisional” mengadopsi begitu saja cara pembelajaran tersebut. Karena alphabet digunakan untuk mewakili bunyi bahasa, maka dianggap wajar kalau dalam pengajaran membaca dan menulis lebih banyak digunakan pendekatan bunyi (phonic approach). Harap tahu saja, ketika kita masih melakukan hal itu, negara-negara maju sudah meninggalkan metode tersebut. Alasannya, belajar membaca dan menulis sebenarnya merupakan konsekuensi dari pengembangan kemampuan berbahasa. Untuk anak prasekolah, pengembangan kemampuan berbahasa ini lebih utama. Kemampuan berbahasa dan sosialisasi anak dengan lingkungannya akan menentukan kemampuan anak memberi makna terhadap isi bacaan dan tulisan (construction of meaning) yang disodorkan kepadanya.
Kalau demikian memahaminya, tentu sedikitnya jumlah huruf dalam abjad kita tidak menjadikannya sederhana dan mudah dipelajari dalam fungsi sebenarnya. Kemampuan literasi seperti itu berkembang seiring perkembangan kognisi anak yang berhubungan dengan kemampuan berbahasa. Masalahnya, justru pada usia anak prasekolah aspek kognisi ini baru mulai berkembang. Aspek lainnya, seperti keterampilan motorik kasar dan motorik halus sudah lebih dahulu berkembang. Mungkin dengan berpijak pada tahap perkembangan inilah orang tua dan pendidik bisa mengenalkan “menulis” huruf, atau lebih tepatnya “menggambar” huruf, pada anak. Kegiatan ini sesuai tahap perkembangan keterampilan motorik halusnya, sekaligus memberikan stimulasi pengembangannya. Sementara itu, melatih kemampuan membacanya bisa dilakukan lebih dini, meski awalnya hanya “membaca” gambar-gambar, yang pelan-pelan disimbolkan ke rangkaian huruf-huruf, membentuk makna. Ini tentu membutuhkan kesabaran dan waktu lama, seperti evolusi piktograf di gua-gua purba hingga menjadi tulisan modern. (F.X. Warindrayana)

Moments I Have Loved!

            Apa yang bisa diberikan oleh sebuah buku? J. Lampe, SJ., yang pada 1972-1993 memimpin Penerbit Kanisius di Jogjakarta, suka mengutip puisi berjudul Moments I Have Loved! karya Louis L’Amour untuk menggambarkan salah satu jawabannya.

            Buku merupakan kemenangan manusia yang paling besar. Dengan duduk di perpustakaanku, aku hidup dalam sebuah mesin waktu. Dalam sekejap aku bisa pindah ke zaman apa pun, belahan mana pun di dunia, bahkan ke angkasa luar.
            Aku telah hidup dalam setiap masa sejarah. Aku telah mendengar perkataan Sang Buddha, berbaris bersama Aleksander, berlayar bersama kaum Viking, bersampan bersama orang Polinesia.
            Aku pernah berada di istana Ratu Elizabeth dan Louis XIV. Aku pernah menjadi teman Kapten Nemo, dan berlayar bersama Kapten Bligh sang dermawan. Aku pernah berjalan di agora dengan Sokrates dan Plato, dan mendengarkan Yesus berkotbah di atas bukit.
            Terpenting dari semuanya itu, aku bisa melakukannya lagi, kapan saja. Di dalam buku-buku itu! Aku tinggal meraihnya di rak, dan mengambilnya untuk menyusuri saat-saat paling menyenangkan itu.

            Sungguhkah membaca buku menjadi saat-saat yang paling menyenangkan? Dr. Franz Magnis-Suseno, guru besar filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, membenarkan hal itu melalui pengalaman sejak masa kecilnya. “Dengan membaca, suatu dunia luas dan menarik terbuka bagi saya. Saya selalu menikmatinya,” tulisnya dalam “Memanusiakan Buku - Membukukan Manusia” (1997). Ia mengenangkan masa kecilnya, saat ibunya rutin tiap malam selama setengah jam membacakan buku yang sesuai dengan daya tangkap anaknya.
            Pada usia delapan tahun, ia mulai membaca sendiri. Buku-buku advonturir seperti Last Mohican, dan kemudian buku-buku Karl May dilalapnya. Pernah, di usia sepuluh tahun, karena membaca begitu banyak buku ibunya khawatir dan memperingatkan agar ia mengurangi membaca. Tapi itu tak digubrisnya. Pada usia lima belas tahun ia sudah asyik menelan sastra modern sungguhan. Ia membaca karya-karya Dostoyevski. Tak ketinggalan dibacanya 3 jilid Saudara Karamasov dalam edisi yang tidak dipersingkat setebal 1.800 halaman. Ia juga membaca karya-karya Tolstoy dan Gogol serta para penulis roman Jerman. Ia juga mengaku terpesona oleh penulis-penulis Prancis seperti Bernanos dan Mauriac. “Sulit saya bayangkan masa muda saya, andaikata tidak membaca terus-menerus. Membaca bagi saya suatu pengalaman kebebasan, di mana sekaligus fantasi mendapat sayap dan betul-betul terbang,” katanya.
            Sejalan dengan itu Dr. Lucia Binder, peneliti bacaan anak dari Austria, mengungkapkan bahwa fantasi tak boleh berhenti. Sastra anak mesti merangsang fantasi menuju ke refleksi dan opini pribadi. Di masa lampau orang tua ingin melindungi anak-anak dari penderitaan dan menjauhkan mereka dari penggambarandunia kehidupan yang terlalu realistis. Segala sesuatu yang menyedihkan dan dianggap bisa membuat anak mengucurkan air mata selalu dihindari. Sedapat-dapatnya diupayakan anak tidak melihat dan mendengar kejadian penuh penderitaan yang menyedihkan. Dunia anak adalah dunia yang indah, yang tabu untuk dicemari. Namun, pemikiran itu kini terkikis. Perkembangan multimedia cenderung menjadikan anak telah berkenalan dengan realitas dan persoalan kehidupan lebih dini dibanding masa lalu.
            Buku anak semestinya mengikuti perkembangan ini. Ursula Wolfel, misalnya. Penulis Jerman ini dalam bukunya The Gray and The Green Fields, menyampaikan cerita-cerita realistis tentang anak-anak yang mengalami kesulitan; seorang anak Amerika Latin yang mengalami ketidakadilan sosial; seorang anak laki-laki yang mengalami kengerian perang; seorang anak Afrika Selatan yang mengalami rasialisme; dan lain sebagainya.
            Penderitaan memang menyusahkan namun itulah fakta yang mesti diketahui pula oleh anak-anak. Bukankah kehidupan itu sendiri berunsur susah dan senang, untung dan malang? Berangkat dari berbagai cerita itu pikiran anak bisa menjadi terbuka. Pada dasarnya, buku memang bukan tujuan terakhir. Ia hanyalah sekadar media yang mengemban fungsi mulia menyampaikan informasi kepada pembaca. Dan, yang utama bukanlah membaca, melainkan mengerti makna isi buku untuk kemudian didayagunakan secara produktif dan konstruktif.      
            Tetapi, kapankah membaca bakal dialami menjadi saat-saat paling menyenangkan seperti ditulis Louis L’amour, atau menjadi pengalaman kebebasan karena bisa terbang dengan sayap-sayap fantasi seperti dialami Franz Magnis-Suseno? Mungkin, suatu ketika nanti, saat buku-buku bacaan yang baik dan tepat untuk anak sudah mudah dijumpai. Dan, sejak kanak-kanak orang sudah terbiasa mencintai dan membaca sendiri buku-bukunya. (F.X. Warindrayana)

Ketika Terlalu Banyak Tepuk Tangan


            Kamar Pearl, bocah kelas III SD, tertata rapi. Kertas-kertas bersih dan rapi. Meja bersih dan rapi. Pearl yang sempurna selalu bekerja sebaik mungkin. Ia tidak pernah menimbulkan masalah di rumah maupun di sekolah. Tulisan tangan mendapat nilai A, pengejaan pun bagus. Tetapi, hari ini Pearl tidak menyelesaikan tugasnya.
            Hari ini Ibu Jones, guru kelasnya, memberikan tugas kepada murid-murid untuk menulis cerita karangan mereka. Murid-murid yang lain sudah mulai menulis sejak 20 menit yang lalu, tetapi Pearl belum menulis sepatah kata pun. Akhirnya, dengan takut-takut ia mengangkat tangannya. “Ibu Jones,” katanya setengah merengek, “Saya tidak tahu apa yang harus saya tulis.” Ibu Jones kebingungan, mengapa Pearl yang begitu cerdas, yang biasa menyelesaikan halaman buku kerjanya dengan sempurna, dan yang menggunakan tata bahasa tanpa cela, tidak dapat menentukan satu topik untuk karangan satu halaman? Ibu Jones memberi beberapa saran, dan Pearl mendengarkan dengan tenang. Air matanya mengambang, “Ibu Jones, bagaimana saya dapat menulis suatu cerita jika tidak menemukan topik yang sempurna?”
            Pearl mulai menghadapi masalah. Selama tugasnya nyata dan khusus, ia berprestasi baik. Tetapi, ketika ia harus berpikr abstrak, menarik kesimpulan berdasarkan penalaran, mengeluarkan gagasannya sendiri, atau mengambil tindakan berisiko, ia menjadi lumpuh karena takut gagal. Pearl yang berbakat, yang sejak bersekolah berada di puncak kelas, mulai merosot menjadi siswa yang pas-pasan di sekolah menengah.
            Kasus Pearl hanyalah salah satu contoh yang diajukan Dr. Sylvia Rimm, Direktur Pusat Prestasi Keluarga di Pusat Medis Metrohealth di Cleveland dan Guru Besar Klinis di Case Western Reserve University School of Medicine, penulis buku Why Bright Kids Get Poor Grades. Rimm memberikan peringatan bahwa anak berbakat sangat rawan menjadi kurang berprestasi. Lingkungan keluarga dan pengalaman bersekolah amat berpengaruh pada masa kanak-kanak. “Semua anak berbakat yang saya lihat di Family Achievement Clinic, sekurang-kurangnya mempunyai satu orang dewasa yang terlibat pada awal tahun pertama anak,” kata Rimm. Dalam proses keterlibatan ini ada risiko anak pada umumnya akan tergantung pada hubungannya dengan orang dewasa. Atau, anak akan menjadi “berkuasa” karena otoritas yang diberikan oleh orang dewasa.
            Pada anak berbakat, masih ada risiko tambahan. Biasanya, anak berbakat memiliki perbendaharaan kata yang banyak, komentarnya cerdas, penalarannya seperti orang dewasa. Atau, memiliki kemampuan lebih di bidang seni dan lainnya. Semuanya itu menarik lebih banyak perhatian orang dewasa di sekitarnya, daripada perhatian yang biasa mereka berikan pada anak-anak lain. Mereka terus menerus menunjukkan kekaguman dan memberikan tepuk tangan kepada si anak berbakat.
            Tetapi, apa sebenarnya yang dimaksud dengan berbakat? Dalam seminar nasional bertajuk “Alternatif Program Pendidikan bagi Anak Berbakat” dirumuskan bahwa “yang dimaksud dengan anak berbakat ialah mereka yang karena memiliki kemampuan-kemampuan yang unggul mampu memberikan prestasi yang tinggi”. Kemampuan-kemampuan itu antara lain meliputi intelektual umum, akademik khusus, berpikir kreatif-produktif, salah satu bidang seni, psikomotorik/kinestetik, dan psikososial. Kalangan pendidik dan psikolog dewasa ini lebih mengartikan keberbakatan seorang anak tidak hanya dari tingkat kemampuan yang tinggi, tetapi juga kreativitas dan komitmen terhadap tugas (minat) serta motivasi untuk berprestasi.
            Potensi keberbakatan memang tidak terlepas dari unsur genetis atau kemampuan dasar, namun tetap saja dibutuhkan adanya kondisi yang memberikan kesempatan agar kemampuan dasar tersebut berkembang. Lembaga-lembaga khusus bagi pengembangan keberbakatan anak di Indonesia, seperti yang dikembangkan oleh Prof. Dr. Utami Munandar di Jakarta, masih amat kurang. Karenanya, peran orang tua, sekolah, dan masyarakat amat dibutuhkan. Sayangnya, respons mereka atas kemampuan lebih seorang anak kadang amat berlebihan. Mereka terlalu bersemangat memberi tepuk tangan, sehingga dalam diri si anak tertanam pemahaman bahwa dirinya hebat. Orang tua mungkin perlu diingatkan bahwa anak berbakat tetaplah seorang anak, dengan kebutuhan-kebutuhan seperti anak yang lain; dan keberbakatan adalah sekunder. Dengan demikian anak bakal bertumbuh wajar, tidak seperti Pearl yang mematok tinggi targetnya dan tidak siap gagal. Juga, tak perlu prestasinya jadi melorot tajam seiring keyakinan dirinya yang merosot ketika mengalami kegagalan. (F.X. Warindrayana)

Dewi Musik


 Suatu ketika, Zeus dewa tertinggi dalam pantheon Yunani hadir di angkasa Salzburg, Austria. Negeri yang masyarakatnya amat menghargai musik itu memang sengaja menghadirkannya, menyertai putrinya Mousa, sang dewi musik. Ceritanya, mereka sedang punya hajat menyelenggarakan Festival Musik Salzburg, dihadiri ribuan orang yang datang menonton acara pembukaannya.
Sebuah helikopter Euro Fighter Typhoon melakukan atraksi udara dalam lakon mitologi Yunani kuno memerankan Zeus. Sementara itu, empat helikopter tempur Black Hawk seperti dayang-dayang mengiringi. Masing-masing dikemudikan pilot dengan didampingi seorang pemain biola dari Kwartet Stadier, memainkan antara lain repertoar klasik karya Karl Heinz Stockhausen, dalam atraksi Helicopter String Quartet. Keempat heli itu meliuk-liuk indah mengikuti irama, digelayuti para pemain teater. Tampak paling menonjol seorang artis bergaun putih panjang, membuat gerakan gemulai berkelebatan dan melayang-layang, juga dengan tubuh terikat seutas tali menggantung dari heli. Tak salah lagi, dialah Mousa atau Muse dalam versi Inggrisnya, sang dewi musik yang membuat kagum para penonton.
Dalam mitologi Yunani, Mousa adalah salah satu dari sembilan anak Zeus dengan Mnemosyne. Ia begitu dihormati oleh masyarakat Yunani dan Eropa pada umumnya, hingga dibuatkan istana sebagai tempat tingalnya. Mereka menyebutnya mouseion. Kita menyebutnya museum. Arti kata ini menurut Guillaume Bude (1554) adalah “…a place dedicated to Muse and to study, where one engages oneself in noble disciplines”. Kediaman sang dewi ini dimengerti sebagai tempat belajar, tempat seseorang menghayati kemuridan. Maklum, bagi bangsa Yunani musik diidentikkan sebagai budaya intelektual secara umum.
Tengok saja pendapat Pythagoras (582-496 SM) yang menyatakan bahwa harmoni dalam musik berkorespondensi dengan perbandingan dua buah bilangan bulat. Bila kita mempunyai dua utas dawai yang diregangkan dengan ketegangan yang sama maka perbandingan panjang kedua dawai tadi pasti 2:1 untuk menghasilkan nada keenam, 3:2 untuk nada kelima, dan 4:3 untuk nada keempat. Pythagoras dan para muridnya mempercayai bahwa alam semesta ini dipenuhi oleh interval musik. All is number. Bagi kaum Pythagorean, musik berkorelasi dan termasuk empat kategori sains: aritmatika, geometri, astronomi, dan musik sendiri.
Tak lama kemudian, Plato (428-348 SM) dan kalangan orang sezaman sudah menganggap bahwa matematika dan musik tidak hanya menjadi ukuran bagi orang cerdas, tetapi juga kriteria bagi orang terdidik. Terdidik memang mengandaikan lebih lengkap daripada sekadar memiliki kecerdasan intelektual melulu. Aristoteles (384-322 SM), murid Plato, menjelaskan bahwa musik menggambarkan emosi dan keadaan jiwa seseorang. Emosi yang menjiwai lagu tersebut bisa mempengaruhi orang yang mendengarkan. Menurutnya, jika seseorang mendengarkan musik yang baik maka akan menjadi orang yang baik pula.
Tokoh-tokoh musik Gereja abad ke-4 meyakini pendapat itu. Augustinus (354-430) dan Ambrosius, misalnya, mengakui kekuatan musik untuk kebaikan. Pada masa abad pertengahan ketika Gereja memegang peranan penting dalam dunia pendidikan, musik mendapat perhatian besar dengan adanya sekolah musik. Pada masa Renaissance teori musik digabungkan dengan matematika dan astronomi. Kurikulum pendidikan saat itu dibagi menjadi quadrivium of geometry, arithmetic, music, and astronomy dan trivium of grammar, dialectic and rhetoric. Pada masa ini sudah jamak seorang artis maupun peneliti mesti menguasai musik, yang bakal berdampak pada taraf hidup mereka.
Jean-Jacques Rousseau (1712-1778), filsuf Prancis, menulis proposal mendetail tentang pelatihan musik dan pendidikan ideal bagi seorang murid. Johan Pestalozzi (1746-1827), murid Rousseau, menekankan pula pentingnya musik dalam dunia pendidikan. Menurutnya, musik membantu anak mengharmonisasikan dan menghafal berbagai macam karakter ilmu lain.
Suatu ketika, para peneliti dari Universitas California mengumumkan bahwa belajar musik pada usia dini dapat meningkatkan kecerdasan dalam jangka panjang. Isu ini berkembang menjadi wacana publik menyambung perbincangan soal kecerdasan setelah Gardner mengembuskan teori barunya mengenai multiple intelligences. Tetapi, sebenarnya, apa yang baru dari peran musik dan pengaruhnya bagi kecerdasan, karena sejak dulu pun sudah dipahami begitu? Kini, seakan hal baru, orang jadi ramai-ramai berupaya mengoptimalkan pengaruh musik dan menawarkannya sebagai alternatif merangsang kecerdasan anak.
Di tengah riuhnya perbincangan soal pengaruh musik dalam pendidikan ini, menarik menyimak kata-kata Profesor Yang Hongnian (1934) dari Konservatori Musik Pusat Tiongkok. Guru dan dirigen yang membawa paduan suara anak-anak Tiongkok menjadi salah satu dari tujuh paduan suara anak-anak terbesar di dunia ini suatu ketika mengingatkan, “Pertama, seorang guru harus mencintai anak karena guru yang mencintai anak akan rela mengorbankan segalanya untuk anak.” Nasihat berikutnya baru masalah teknis soal musik. (F.X. Warindrayana)

BIOLA


            The Violin Player (1994), album perdana Vanessa-Mae, meraih sukses luar biasa. Penjualan album dengan tampilan cover Vanessa berbaju basah sehingga tubuhnya tampak lengket tercetak - seksi banget! - itu meraih tiga platinum. Keseksian yang eksotis, sempat lengket mencitrakan dirinya. Karena itukah ia sukses? Eit... jangan tergesa-gesa. Ia sendiri menolak gambaran itu. “Seksi? Oh, tidak!” sergahnya, “Saya tidak bermaksud tampil seksi. Saya hanya ingin memberikan kesan menarik dan orisinal. Mungkin sama halnya dengan Marilyn Manson yang selalu berdandan ala setan dan memecahkan barang-barang pada setiap pertunjukannya,” sambungnya. Apa pun katanya orang masih saja melihat keseksian menjadi bagian dari daya tariknya. Ingat saja salah satu klipnya, “Destiny” dari album Subject to Change (2001), misalnya. Vanessa tampil mengenakan gaun dengan belahan tinggi. Bahannya lembut, sehingga saat angin menerpa, siluet bentuk tubuhnya tercipta. Inilah mungkin yang disebut eksotis itu, bukan erotis. Sebuah pesona yang bercita rasa dan jauh dari kenorakan yang memualkan.
            Masih ingat aksi panggungnya di Jakarta beberapa waktu lalu? Ia dan biolanya seakan menjadi sihir yang mampu menghipnotis sekitar 1.400 penonton yang memadati Ballroom Hotel Grand Melia. Vanessa dalam balutan gaun model you can see membuktikan bahwa ia tak sekadar menjual keseksian. Meski, agaknya ia sadar benar bahwa di luar urusan musik, wajah cantik dan estetika penampilan tubuhnya juga menjadi bagian penting performance di atas panggung. Dengan gerak lincah ia mengisi setiap sudut kosong. Kadang membelakangi penonton sambil terus bermain atraktif. Bahasa tubuhnya terus berbicara, bersama kematangan teknik dan kecepatannya menggesek biola.
            Tak berlebihan, Addie MS berkomentar singkat, “Bagus!” Bagi dedengkot Twilite Orchestra itu, pencapaian estetis musisi semuda Vanessa patut diacungi jempol. Vanessa memang identik sebuah fenomena. Ia muncul menjadi ikon baru musik klasik. Tetapi, sekaligus ia juga dijuluki duta agung dunia musik klasik ke dunia musik pop yang gemerlap. Ia tidak hanya mempersembahkan musik klasik secara konservatif-konvensional, tetapi juga mengemas karya-karya klasik dengan nuansa pop, jazz, maupun rock. Meski, yang terakhir ini sebenarnya bukan hal baru tapi kebanyakan musisi melakukannya dalam sebuah kelompok musik lengkap. Sedangkan Vanessa secara istimewa bermain solo. Seperti malam itu, ia sempat memainkan komposisi popular, Toccata, karya Sebastian Bach dan komposisi karya Vivaldi, Solace. Sementara itu, Destiny dan Storm ditampilkan dalam komposisi bernuansa rock yang mengundang penonton mengiringi dengan tepuk tangan ritmis. Storm bahkan sempat dibawakannya lagi dengan versi remix. Pertunjukannya malam itu adalah gabungan pesona teknik piawai memainkan biola dan pesona bahasa tubuhnya yang memukau. Tak heran aksi panggungnya itu sempat digelari The Biggest Concert of The Year.
            Vanesa lahir di Singapura tahun 1979, pada tanggal yang sama dengan kelahiran idolanya, Paganini. Ibu Cina-Singapura dan ayah Thailand, memberinya nama lengkap Vanessa-Mae Vanakorn Nicholson. Usianya 4 tahun saat mereka pindah ke London. Vanessa belajar piano sejak usia 3 tahun, dua tahun kemudian pindah ke biola. Ia pertama kali belajar biola di London, sebelum kemudian berguru pada Profesor Lin Yao Jie pada The National Conservatoire Of Music di Beijing. Selanjutnya, ia menyempurnakan teknik dan gayanya di London’s Royal College of Music.
            Orang mungkin hanya terpukau oleh pencapaiannya. Tetapi barangkali hanya sedikit yang tahu dan peduli bahwa ia telah berjuang keras dan amat lama untuk itu. Di masa kecilnya, ketika banyak teman sebaya masih bermain boneka, ia sudah harus belajar menjepit biola mungil dengan dagunya. Siang malam ia berlatih dan menjaga benda itu dekat dengan lehernya agar tidak terjatuh. Pada usia 11 tahun ia sudah memainkan dengan fasih karya-karya Mozart, Tchaikovsky, dan Beethoven. Pada usianya itu ia sudah tampil dipanggung profesional bersama The London Philharmonic (1989). Tahun berikutnya ia ambil bagian dalam tur bersama The London Mozart Players. Ketika harus promo album perdananya, ia mampu menjelajah panggung di 33 negara. Albumnya itu langsung menggebrak pasar, yang membuat dirinya dinominasikan sebagai Best British Female dalam BRIT Award (1996).
            Siapa tokoh penentu suksesnya itu? Ternyata, orang tua dan guru-gurunya banyak terlibat. Di usianya yang dini itu guru-gurunya melihat bakat luar biasa dalam dirinya. “Guru-guru saya kagum luar biasa melihat kemajuan saja dalam menggesek biola. Lalu, mereka memberitahukannya kepada orang tua saya tentang bakat musik yang menjanjikan itu,” kata Vanessa dalam sebuah wawancara. Tidak sampai di situ, mereka juga menganjurkan orang tua Vanesa untuk mengarahkan minat anaknya pada biola lebih serius lagi. Kerja sama yang bagus antara guru dan orang tua dalam melihat, menumbuhkan, dan mengarahkan minat anaknya terasa klop ketika Vanessa pun tak pernah merasa terpaksa. “Saya mempunyai hubungan istimewa dengan biola saya. Sejak kanak-kanak saya sudah sangat tertarik pada instrumen yang sempurna tersebut, pas benar dilekatkan di bawah dagu. Bagi saya, biola itu seperti boneka atau binatang kesayangan,” kata Vanessa mengenang masa kecilnya.
            Banyak pengalaman menunjukkan bahwa bintang yang sukses pada usia relatif belia sebenarnya telah menjadi korban perampokan masa kanak-kanaknya. Begitu jugakah Vanessa? “Saya selalu diperbolehkan melakukan segala sesuatu yang menyenangkan diri saya. Tidak seorang pun yang memaksa saya melakukan hal ini. Orang tua hanya mengatakan ‘Kamu harus mengerjakan sesuatu dengan serius. Kamu wajib menjadi manusia yang tahu bertanggung jawab’. Itu yang saya pelajari pada masa kecil,” katanya arif. (F.X. Warindrayana)

A Great Victory

 “Victory, a great victory! I see everthing rose red….” Kata-kata itu dibisikkan Karl May pada 30 Maret 1912 sesaat sebelum ajalnya. Ia mati dengan bangga setelah menyaksikan kenyataan bahwa 73 novelnya telah dikopi ratusan juta eksemplar dan diterjemahkan ke dalam lebih dari tiga puluh bahasa.
Bisa jadi nama Karl May terdengar agak asing. Tetapi di pertengahan tahun 70-an, hampir dipastikan, setiap orang yang tidak asing dengan buku mengenal nama ini lewat kisah-kisah petualangan Old Shatterhand dan Winnetou di rimba suku Apache. Karl lahir 25 Februari 1842, di desa Upper Bavaria, 15 kilometer dari Hohenstein-Ernstthal, dekat Dresden, Jerman. Ayahnya, Heinrich August seorang tukang tenun miskin; dan ibunya, Christiane Wilhelmine, adalah bidan kampung, yang justru tak tahu cara mengurus anak. Akibatnya, Karl kecil hidup sengsara, di rumah yang kotor, dan kekurangan vitamin. Empat tahun penyakit xeroptalmia, kebutaan ringan, menyerangnya. Itu ditambah cambukan di tubuh, jika ayahnya marah. Dalam kesengsaraannya, Karl hanya punya satu tempat mengadu, neneknya. Dan biasanya, sang nenek akan menghadiahi Karl dongeng indah, untuk menghentikan tangisnya.
Masa mudanya pahit. Ia pernah difitnah mencuri jam tangan, yang menyebabkannya mendekam di penjara. Karl seperti kehilangan pegangan, jiwanya terganggu. Dia mengalami multiple personality disorder, keterpecahan jiwa. Hebatnya, di dalam tubuh ringkihnya bersemayam 8 karakter manusia, yang acap kali saling bentrok. Karl berusaha mengendalikan pertarungan 8 karakter itu. Tetapi, tekanan karakter itu justru menuntunnya jadi pencuri. Dia sempat dipenjara untuk proses psikoterapi sampai dua kali pada tahun 1865-1868, dan tahun 1870-1874. Namun, justru empat tahun terakhir dalam penjara inilah yang bakal mengubah arah hidupnya. Karl bertemu dengan Johann Kochta, yang membimbing dan mempekerjakannya di perpustakaan penjara. Di sinilah Karl mengagumi buku James Fenimore Copper, seri petualangan dan budaya Indian, yang menjadi inspirasi sebagian besar karya-karyanya kelak.
Pada tahun 1877, karya pertama Karl, Die Rose von Kahira: Eine Morgenlandische Erzahlung terbit. Buku itu memuat petualangan Kara Ben Nemsi dan Haji Halef Omar di Timur Tengah. Tahun 1893, karya monumentalnya, seri Winnetou, diluncurkan dan langsung memikat jutaan pembacanya. Tak heran, di sequel berikutnya, Old Shatterhand menjelajah lebih jauh lagi, sampai ke pelosok-pelosok Balkan. Siapa pun yang membaca petualangan Old Shaterhand bersama Winnetou dalam Berburu Binatang Berkulit Tebal di Rio Pecos, dan Di Pelosok-pelosok Balkan, sulit untuk tak takjub. Karl begitu mahir menjelaskan keadaan hutan, mengendus jejak, menentukan lama jarak buruan dari hangatnya jejak, cara menghilangkan jejak, membidik bison, tata cara menghisap pipa perdamaian, sampai menguliti binatang. Karl bahkan secara detail dapat menggambarkan jarak antara satu desa dengan desa lainnya, adat tiap suku, sekaligus bahasa yang dipakai suku-suku itu.
Para pembaca kisahnya dibuat yakin bahwa tokoh Old Shatterhand adalah Karl sendiri yang selalu terlibat dalam setiap petualangan itu. Padahal, semua itu hanya tuangan imajinasi Karl. Selama cerita Winnetou dia tulis, tak sekali pun dia pernah mengunjungi daerah itu. Sebabnya satu, semua kisah petualangan itu ditulis Karl selagi dia dalam penjara, hanya dengan bantuan sebuah peta. Luar biasa! Memang, pada tahun 1899, setelah kaya raya, ia berkelana ke Kairo, Sungai Nil, Aswan, Skelal, Port Said, Beirut, Istambul, Jerusalem, Suez, sampai pulau Sumatera. Dan selama pengembaraan itu, Karl selalu mengambil cenderamata yang kelak dia katakan, tanda mata dari petualangannya bersama Winnetou.
Kemampuan Karl dalam mengembangkan imajinasi telah mengantarkannya kepada kesuksesan. Ia mesti berterima kasih bukan hanya pada Kochta selama dalam penjara tetapi juga pada neneknya yang menyirami benih-benih imajinasi dalam dirinya dengan dongeng-dongeng di masa kecilnya. Berdasarkan penelitian, imaginasi memiliki efek positif bagi perkembangan anak. Anak-anak yang memiliki imajinasi, lebih banyak tersenyum dan tertawa dibandingkan dengan anak-anak yang kurang memiliki daya khayal. Mereka mampu bermain secara mandiri, dan tidak cepat merasa bosan. Karena terbiasa membayangkan sesuatu, maka anak yang memiliki daya khayal akan lebih mampu berempati. Imajinasi juga meningkatkan penghargaan anak terhadap dirinya dan kemampuan menghadapi kenyataan hidup. Dari segi perkembangan kognitif, daya khayal juga menolong anak lebih cepat mengenal lingkungannya. Karena memiliki daya khayal yang besar, anak akan tumbuh menjadi orang dewasa yang lebih fleksibel dan kreatif. Imajinasi lebih utama daripada pengetahuan. Pengetahuan bersifat terbatas. Imajinasi melingkupi dunia,” kata Albert Einstein suatu ketika. Karl menjadi contohnya. Ia telah merebut dunia dengan imajinasinya, dan akhirnya bisa mati dengan bangga, “Victory, a great victory…!”  (F.X. Warindrayana)

Bakat Kreatif


            Tumor sebesar jeruk kecil di belakang dahi Elliot telah dibuang habis. Pembedahannya dinyatakan sukses. Kendati begitu, rasanya ada yang aneh. Orang-orang yang mengenalnya secara baik mengatakan bahwa ia bukan lagi Elliot yang dulu. Ia mengalami perubahan kepribadian secara drastis. Begitu pun kehidupannya. Ia kehilangan pekerjaannya sebagai pengacara. Istrinya meninggalkannya. Dan, setelah menghamburkan tabungannya untuk berbagai investasi yang tak membuahkan keuntungan, ia hidup menumpang pada saudaranya.
            Kasus Elliot menjadi fenomena menarik sekaligus membingungkan. Secara intelektual ia sama cerdasnya seperti dahulu, tetapi kacau dalam konsep waktu. Ia juga bingung bila dihadapkan pada detail-detail, dan kehilangan makna prioritas. Pengujian intelektual yang lebih mendalam tak menemukan hal yang tidak beres pada kemampuan mental Elliot. Akhirnya ia mengunjungi ahli saraf. Antonio Damasio, neurolog yang dikunjungi Elliot, terkejut karena menemukan bahwa ada salah satu unsur yang hilang dari repertoar mental Elliot. Meskipun tidak ada yang salah pada logika, ingatan, perhatian, dan kemampuan kognitif lainnya namun ia tidak tahu apa perasaannya atas hal-hal yang terjadi pada dirinya. Damasio menyimpulkan bahwa sumber ketidaksadaran emosional ini adalah dibuangnya bagian lobus prefrontal Elliot bersama dengan pembedahan tumor otaknya.
            Pembedahan itu sekaligus memutuskan ikatan antara pusat-pusat otak emosional yang lebih rendah, terutama amigdala dan sirkuit-sirkuit yang berkaitan, dan kemampuan berpikir neokorteks. Ia berpikir seperti komputer, tiap pilihan bersifat netral, mampu membuat langkah menurut kalkulasi keputusan tapi tidak sanggup menetapkan nilai bagi berbagai kemungkinan. Ia dapat menceritakan peristiwa-peristiwa tragis dalam hidupnya dengan nada yang datar, tanpa kesedihan, kekecewaan, kemarahan, atau penyesalan. Damasio merasa lebih sedih mendengar kisah Elliot dibandingkan Elliot sendiri. Ia telah mengalami banyak kerugian besar berkaitan dengan segi kemanusiaannya.
            Kecelakaan menyedihkan yang dialami Elliot itu rasa-rasanya juga dialami sebagai tragedi masyarakat modern sebagaimana digambarkan Harvey Cox dalam Feast of Fools. Dikemukakan oleh Cox bahwa masyarakat Barat dan semua masyarakat yang diikutsertakan dalam proses industrialisasi, telah mengalami kerugian besar dalam segi kemanusiaannya. Di bawah pengaruh Marxisme maupun agama, ditekankan secara berat sebelah bahwa manusia itu homo faber, manusia pekerja. Sementara itu, dibawah pengaruh filsafat Thomas Aquinas dan Descartes ditekankan manusia sebagai homo intellectualis. Tekanan itu diperkuat dengan industrialisasi, didukung filsafat, dan dihalalkan agama Kristen sehingga membawa hasil kemajuan yang amat mengagumkan. Tetapi, menurut Cox, disadari kemudian bahwa harga kemajuan itu amat mahal. Bukan hanya karena berjuta orang di luar Eropa dan Amerika Utara menjadi makin miskin, juga bukan hanya karena sungai-laut-udara diracuni, melainkan karena jiwa menjadi miskin. Masyarakat Barat mencapai kemakmuran dengan menjadi miskin dalam daya-daya kehidupan. Mereka kehilangan unsur penting dalam dirinya yakni perasaan dan kemampuan berfantasi. Mereka lupa berpesta lagi.
            Mereka fasih melakukan kegiatan yang efektif, membuat perhitungan-perhitungan yang selalu klop, tetapi lupa mengingat masa lalu, bermain, berpesta, dan berfantasi. Istilah fantasi oleh Cox dimaksudkan sebagai imajinasi yang diteruskan, yang mengatasi struktur kenyataan sehari-hari, semacam day-dreams yang kreatif. Kreativitas bukan sekadar daya cipta, tapi lebih menunjuk kemampuan untuk membuat kombinasi baru, berdasarkan data, informasi, atau unsur-unsur yang ada. Kreativitas menjadi penting karena dengan berkreasi orang dapat mewujudkan dirinya. Perwujudan diri ini menjadi salah satu kebutuhan pokok dalam hidup manusia. Maslow, yang menyelidiki sistem kebutuhan manusia, menekankan bahwa kreativitas merupakan perwujudan individu yang berfungsi sepenuhnya dalam perwujudan dirinya dan memberikan kepuasan. Orang-orang yang sehat, bebas dari hambatan-hambatan, dapat mewujudkan diri sepenuhnya.
            Karena itulah, tetap cerdas seperti Elliot pascapembedahan saja belum cukup. Juga, meraih kemakmuran, seperi dialami masyarakat industrial yang digambarkan Cox, masih kurang. Masih ada lubang, belum utuh sisi kemanusiaannya. Kreativitaslah yang menjamin keutuhan itu. Ia merambah segala bidang kehidupan. Dan, seperti fantasi ia bergerak bebas, tak bisa dibatasi. Konon, bakat kreatif dimiliki oleh semua orang. Dan, menurut Utami Munandar yang meraih gelar doktor psikologinya dengan disertasi Creativity and Education, bakat kreatif ini dapat ditingkatkan, karena itu perlu dipupuk sejak dini. (F.X. Warindrayana)

Kepedulian Sang Seniman


          Seperti apakah kepedulian, dan bagaimana itu diwujudkan? Fazlun Khalid, dalam Islam and Ecology, mengutip sebuah kisah menarik berikut ini.
          Ada seorang musafir sedang dalam perjalanan panjang. Dia sangat kehausan. Ketika menemukan sebuah sumur, ia turun ke dalamnya dan minum. Setelah keluar dari sumur dia melihat seekor anjing terengah-engah sedang makan debu tanah saking hausnya. Orang itu berpikir, “Anjing ini sama hausnya dengan saya tadi.” Maka dia sekali lagi turun ke sumur, mengisi sepatunya dengan air dan membawa dengan mulutnya. Sepatu penuh air itu diberikan kepada anjing supaya dia dapat minum.
          Anjing itu menjadi segar kembali berkat kepedulian si musafir. Ada lagi kisah terkenal yang mirip, masih berasal dari wilayah Timur Tengah. Pada suatu ketika ada seorang saudagar Yahudi turun dari Yerusalem ke Yerikho. Ia jatuh ke tangan penyamun yang bukan hanya merampoknya habis-habisan, tetapi juga memukulinya, dan sesudah itu pergi meninggalkannya setengah mati. Kebetulan, ada seorang imam Yahudi melewati jalan itu. Ia melihat orang yang disamun itu, tetapi lalu melewatinya dari seberang jalan. Demikian juga ketika seorang pemuka bangsa Yahudi melihat orang itu, ia melewatinya dari seberang jalan. Lalu datanglah musuhnya, seorang Samaria, yang sedang dalam perjalanan melewati tempat itu. Ketika melihat orang itu, tergeraklah hati si orang Samaria. Ia mendatangi orang itu, menyiraminya dengan anggur dan minyak, lalu membalut luka-lukanya. Kemudian, ia menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu membawanya ke penginapan terdekat dan merawatnya.
          Rupanya, kepedulian bukan hanya sekadar memberi bantuan dan pertolongan. Ia lebih merupakan suatu gerak hati. Dan, gerak hati itu tak bisa dibatasi. Ia mampu meloncat-loncat melompati garis batas. Seperti energi spiritual yang kuat, ia memberi daya dorong yang memampukan orang meretas batas norma-norma yang ada. Bukankah anjing adalah binatang yang diharamkan menurut norma di lingkungan sang musafir? Dan, orang Yahudi yang disamun itu adalah seorang dari musuh yang menganggap orang Samaria tak lebih bermartabat daripada seekor anjing? Tetapi, kepada yang haram dan seorang musuh, kepedulian tidak diharamkan.
          Memang, gerak hati yang kuat selalu menuju perwujudannya. Ia tidak pernah berhenti di sana tanpa perwujudan. Tetapi, demi kepentingan siapakah kepedulian kita itu? Demi sebuah kepuasan mewujudkan gerak hati, atau juga mempertimbangkan kepentingan subjek kepedulian kita? Fabel tentang kera yang jatuh kasihan melihat seekor ikan di telaga bisa menjadi contohnya. Kera melihat ikan itu sebentar-sebentar menyembul ke permukaan air. Ia menjadi khawatir kalau ikan itu bakal mati tenggelam. Ia lalu mengangkat ikan tersebut dan meletakkannya di dahan pohon, berdampingan dengan dirinya.
          Kera telah mewujudkan kepeduliannya. Tetapi, ia tidak tepat mewujudkan kepedulian pada subjek pedulinya. Kepentingannya mewujudkan kepedulian telah terpuaskan, tetapi kepentingan ikan tak terpenuhi, malah menjadi celaka karenanya.
          Barangkali, sikap bijak para seniman pahat yang diundang ke Italia untuk memperbaiki patung Pieta bisa dianggap tepat. Kisahnya, seorang fanatik telah memukul patung Pieta karya Michelangelo (1475-1564) hingga rusak. Seluruh dunia terkejut. Peristiwa itu menggerakkan kepedulian para seminan ulung untuk memperbaikinya. Sesampai di Italia mereka tidak langsung memperbaiki patung itu, tetapi hanya melihat-lihat dan mengamatinya. Mereka menyentuh dan meraba garis sera lekuk-lekuknya untuk memahami makna setiap bagiannya. Beberapa pakar bahkan membutuhkan waktu lama untuk mempelajari salah satu bagian kecil dari patung itu. Mereka sangat tekun dan hati-hati, sampai akhirnya mampu melihat dengan mata Michelangelo, menyentuh dengan perasaanya, dan menangkap ruh sang seniman agung itu. Pada waktu itulah mereka mulai bekerja memperbaiki patung yang rusak tersebut. 
          Kepedulian para seniman terhadap patung Pieta yang sangat berharga telah diwujudkan melalui upaya menyelaraskan diri dengan ruh pemahatnya agar bisa melakukan yang terbaik pada patung itu. Terhadap manusia, yang tentunya bukan sekadar Pieta karya Michelangelo tetapi mahakarya dari Sang Seniman Agung, kita semestinya juga mewujudkan kepedulian selaras dengan Ruh dan gerak hati Sang Penciptanya. Paling tidak, seperti telah dilakukan oleh si musafir dan orang Samaria tersebut, yang telah mewujudkan kepedulian mereka dengan mempertimbangkan kepentingan si subjek peduli. (F.X. Warindrayana)

Kecerdasan Kontekstual


            Ridwan Arif Nugroho, yang tinggal dan sedang menempuh studi di Minesawa-cho, Hodogaya-ku, Yokohama, Jepang punya pengalaman menarik. Ia menuturkan pengalamannya saat mengunjungi sebuah kuil (KR 4/6). 12 kilometer dari kota Yokohama ada kuil terkenal bernama Kawasaki Daishi. Banyak orang datang ke sana dengan bermacam-macam permintaan. Permintaan itu ditulis dan digantungkan pada tempat yang sudah disediakan. Suatu saat, ia bersama teman-teman sekelas berdarmawisata ke sana. Tak lupa ia menyempatkan diri membaca permintaan-permintaan itu. Kebanyakan permintaan itu ditulis dalam bahasa Jepang. Namun, ada satu yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Bunyinya, “Saya ingin mendapat suami yang kaya dan ganteng”.
            Sulit diterka maksud penulisnya, apakah ia serius dengan permintaannya atau sekadar iseng. Bisa jadi, ia serius dengan permintaan itu tapi agak sungkan. Terbukti, bahasa yang digunakan bukan Jepang (seandainya ia bisa berbahasa Jepang karena tinggal di sana). Malu, kalau ada yang iseng membacanya. Seturut kebiasaan atau budaya setempat, hal itu memang agak aneh. Keanehan ini pula yang ditangkap Ridwan dan ditulis untuk pembaca di Indonesia.
            “Suami kaya dan ganteng” menjadi target capaian si penulis permohonan. Kenapa bukan ia sendiri yang ingin menjadi kaya? Atau, ia pengin kaya tetapi dengan cara menjadi istri orang kaya? Ini yang aneh bagi kultur masyarakat di sana. Mereka terbiasa bekerja keras untuk meraih target-targetnya. Sejak kanak-kanak mereka dibiasakan belajar dengan tekun. Orang tua menuntut sekolah bermutu tinggi, dan mempunyai harapan tinggi terhadap anak-anaknya. Mereka yakin, anak-anak dapat memenuhi harapan ini lewat kerja keras dan komitmen mereka yang kuat. Para ibu aktif membimbing anak-anak mereka, bekerja sama dengan para guru yang sangat mereka hormati. Menurut M. White, penulis The Japanese Educational Challenge: A Commitment to Children, memaksimalkan potensi anak Jepang diterima sebagai tanggung jawab sosial, bukan sekadar slogan-slogan tetapi sampai tingkat praksis sebenarnya.
            Gardner mencatat itu dalam bukunya, Multiple Intelligences. Ia menegaskan keterlibatan individual dengan masyarakat dalam berbagai tingkat: individu dengan keluarga, keluarga dengan sekolah, sekolah dengan tempat kerja, dan karyawan dengan pemberi kerja. Nilai-nilai sosial mendukung sekolah, dengan memberikan penekanan pada motivasi dan usaha, bukan kemampuan karena bakat. Kompetensi individual tumbuh dan dipelihara dalam kultur yang mendukung. Ketika semua kekuatan ini menyatu, Gardner menyatakan, kecerdasan kemungkinan besar akan terwujud. Kecerdasan inilah yang akan menjadi kekuatan baru meraih target-target capaian.
            Sering dilupakan ketika orang berbicara tentang kecerdasan adalah bahwa kini teori kecerdasan semestinya dipahami tidak hanya mempertimbangkan wilayah pemikiran manusia yang sudah dikenal, tetapi juga masyarakat tempat semua pemikiran itu difungsikan. Ada keanekaragaman perwujudan kecerdasan di dalam budaya dan lintas budaya. Penilaian terhadap kecerdasan ini pun semestinya diarahkan kepada tujuan membangun berbagai potensi untuk memahami atau kompetensi. Kompetensi inilah yang membuat seseorang mampu berpartisipasi dalam berbagai keadaan yang berkembang dalam budaya setempat.
            Masyarakat di mana pun memiliki banyak peran yang harus diisi oleh anggota masyarakat yang bersangkutan. Pada masyarakat tradisional-agraris misalnya, kemampuan membaca dan menulis belum tentu dianggap satu-satunya ukuran kecerdasan. Gardner mengutip Le Vine dan White (1986), justru menegaskan bahwa kecerdasan dalam masyarakat tersebut terutama tidak ditetapkan oleh keterampilan yang berkaitan dengan membaca dan menulis. “Orang yang bertingkah laku menurut norma sosial dianggap cerdas dalam hal-hal yang paling diperhitungkan, yaitu dalam mempertahankan hubungan sosial yang berarti keamanan jangka panjang...,” katanya.
            Kalau benar demikian, tuntutan akademis guru-guru di sekolah formal maupun orang tua di rumah terhadap anak-anak mereka perlu dilihat kembali dalam perspektif teori baru Gardner itu. Jangan-jangan, selama ini para guru dan orang tua masih berkutat dengan satu kecerdasan saja yang bisa diukur dengan nilai tunggal sebagaimana dilontarkan Binet hampir seabad lalu untuk mengenali anak-anak yang prestasinya buruk di sekolah. Terhadap kekurangan anak-anak ini, diberikan solusi dengan memanfaatkan pendidikan khusus atau tambahan. Kini, boleh jadi kita menilai pengukuran itu belum utuh karena tidak memperhatikan potensi menyeluruh dari si anak. Tetapi, tak urung masih saja membebani anak dengan kurikulum yang memberatkan dan berbagai les tambahan.
            Jangan-jangan, tulisan permohonan siswa Indonesia yang ditemukan Ridwan tergantung di kuil Kawasaki Daishi itu justru satu perwujudan kecerdasan tersendiri, sesuai konteks budaya masyarakatnya. Apa pun kritiknya atas isi dan rumusan permohonan itu, seperti sikap pragmatis sempit, hedonis, mau enak tanpa usaha keras; tetap saja itu menjadi cerminan dan lahir dari tengah masyarakatnya. (F.X. Warindrayana)

Hanya Satu Teori

            Ian Moore, siswa di kelas terakhir Thomas Jefferson High School di Brooklyn, dan Tyrone Sinkler, siswa kelas dua, pernah bertengkar dengan Khalil Sumter (15). Sejak itu mereka mulai menjahili Khalil dan mengancamnya. Akhirnya pertengkaran pun meledak. Pada suatu pagi, kharena khawatir akan dipukuli, Khalil membawa sepucuk pistol kaliber 0,38 ke sekolah. Persis lima meter dari penjaga sekolah, ia menembak kedua anak itu dari jarak dekat di lorong sekolah hingga tewas. (Daniel Goleman, 1996)
            Ledakan mengerikan itu menyadarkan banyak pihak bahwa menangani emosi perlu mendapat perhatian dalam pelajaran. “Kita lebih prihatin pada seberapa baik kemampuan anak membaca dan menulis daripada apakah mereka masih akan hidup minggu depan,” kata salah seorang guru di Brooklyn. Dari kasus ini memang tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa penanganan emosi bisa berkaitan dengan hidup orang lain.
            Apakah anak itu memang mengidap kelainan psikologis? Tidak. Banyak kasus menghebohkan yang tidak masuk akal dilakukan oleh orang normal yang sedang mengalami gangguan psikologis dan tidak terampil mengelolanya. Ingat kasus yang dikenal sebagai “pembunuhan gadis karier”? Peristiwanya mudah diingat, terjadi pada suatu hari yang panas di bulan Agustus 1963. Persis, pada saat yang sama ketika Martin Luther King, Jr. menyampaikan pidato terkenalnya, I have a Dream, di hadapan pawai hak-hak asasi di Washington.
            Janice Wylie (21) seorang peneliti di majalah Newsweek, dan Emily Hoffert (23) seorang guru sekolah dasar, ditemukan tewas mengenaskan di apartemen mereka. Tubuh mereka terikat, dan didapati luka tusukan serta sayatan pisau dapur. Pelakunya, Richard Robles, seorang kawakan yang telah melakukan perampokan lebih seratus kali. Ia baru saja mendapatkan pembebasan dari hukuman tetapi telah melakukannya lagi. “Saya bingung sekali. Kepala saya serasa meledak,” katanya sambil meratap, ketika mengenangkan peristiwa itu 25 tahun kemudian. Ia mengaku, rencananya melakukan pencurian itu untuk terakhir kalinya karena terdesak kebutuhan keuangan demi putrinya yang masih kecil. Ia tak menyangka, aksinya itu diketahui penghuni apartemen. Maksudnya, ia cukup mengikat dua penghuninya. Tapi, salah seorang gadis itu mengancam akan selalu mengingat wajahnya dan membantu polisi mencarinya. Ia panik, meraih botol soda dan memukul kepala mereka sampai pingsan. Di tengah gelombang amarah dan ketakutan, ia mengambil pisau dapur, menusuk dan menyayat-nyayat mereka hingga tewas.
            Robles laki-laki normal, hanya terserang gangguan psikologis dan tidak mampu mengatasinya. Penguasaan diri, sophrosyne (Yun.), atau temperantia (Lat.) yang menjadi kuncinya, yakni kemampuan untuk menghadapi badai emosi yang datang setiap saat. Orang dengan kemampuan demikian ini, dan bukannya menjadi “budak nafsu” dipuji oleh para bijak sejak zaman Plato. Masalahnya, amat sedikit orang yang dengan sadar mendidik emosinya. Shakespeare mencatat melalui dialog Hamlet dengan Horatio, “Tunjukkan padaku lelaki yang bukan budak nafsu, dan kan kusematkan dia di tali kalbuku....”
            Banyak orang mengalami buta emosi seperti Khalil dan Robles. Bahkan, mungkin istilah pendidikan emosi masih terdengar asing. Sebenarnya, tak ada orang atau anak-anak dari berbagai ras atau etnis bakal luput dari ancaman risiko ini. Urie Bronfenbrenner, pakar psikologi perkembangan dari Cornell University yang telah melakukan perbandingan internasional tentang kesejahteraan anak-anak berkomentar, “Kesibukan hebat, ketidakmantapan, dan tidak aktifnya kehidupan keluarga sehari-hari telah meluas di semua sisi masyarakat kita, termasuk yang berpendidikan tinggi dan yang kaya. Yang dipertaruhkan tak lain adalah angkatan berikutnya....” Senada dengan itu, benar yang dikatakan Erasmus bahwa harapan utama suatu bangsa terletak pada baiknya pendidikan kaum mudanya.
            Pendidikan, dengan memberikan perhatian pada pendidikan emosi, akan menyiapkan kecerdasan anak. Bukan hanya kecerdasan intelektual yang banyak diagungkan orang tua, atau kecerdasan emosional yang terbukti tak kalah pentingnya, tetapi juga kecerdasan pribadi (personal intelligence). Karenanya, orang tua memang mesti waspada pada perkembangan anak. Bukan hanya tentang lambatnya kemampuan menulis dan membaca, tetapi juga terhadap segala gangguan psikologisnya. Entah bawaan atau tercemar lingkungannya, termasuk keluarga.
            Tak jarang kekurangan-kekurangan anak dalam masa perkembangannya, justru disebabkan oleh kesalahan orang tua. Maksud baik orang tua justru menjadikan mereka tidak bisa menikmati firdausnya. Ingat saja film menarik 8 1/2. Anak-anak SD itu patungan menyerahkan uang pada seorang pelacur di pantai untuk membuka pakaiannya dan menari bersama-sama mereka. Semula, perkenalannya amat kebetulan, dan mereka tidak tahu apa pun tentang pelacur. Anak-anak itu pun didorong rasa gembira meminta, “Maukah kamu menari?” Lalu menari bersama, bergembira, tulus. Sampai pengasuh mereka, tentunya seorang dewasa, datang dan memarahi pelacur itu, memintanya berpakaian, dan mengomel. “Pada saat itu anak-anak tercemar. Sebelumnya mereka begitu suci,” kata narator dalam film.
            Mungkin benar, pada dasarnya anak-anak itu polos, tulus, dan suci. Karenanya, orang tua perlu hati-hati. Tak perlu banyak teori, seperti dikatakan Kate Samperi, “Sebelum menjadi ibu, saya memiliki seratus teori mengenai cara mendidik anak. Sekarang saya mempunyai tujuh anak tetapi hanya satu teori; cintailah mereka, terutama pada saat mereka paling tidak layak untuk dicintai.” (F.X. Warindrayana)
 
Free Website templateswww.seodesign.usFree Flash TemplatesRiad In FezFree joomla templatesAgence Web MarocMusic Videos OnlineFree Wordpress Themes Templatesfreethemes4all.comFree Blog TemplatesLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesSoccer Videos OnlineFree Wordpress ThemesFree Web Templates