twitter
    Find out what I'm doing, Follow Me :)

Hanya Satu Teori

            Ian Moore, siswa di kelas terakhir Thomas Jefferson High School di Brooklyn, dan Tyrone Sinkler, siswa kelas dua, pernah bertengkar dengan Khalil Sumter (15). Sejak itu mereka mulai menjahili Khalil dan mengancamnya. Akhirnya pertengkaran pun meledak. Pada suatu pagi, kharena khawatir akan dipukuli, Khalil membawa sepucuk pistol kaliber 0,38 ke sekolah. Persis lima meter dari penjaga sekolah, ia menembak kedua anak itu dari jarak dekat di lorong sekolah hingga tewas. (Daniel Goleman, 1996)
            Ledakan mengerikan itu menyadarkan banyak pihak bahwa menangani emosi perlu mendapat perhatian dalam pelajaran. “Kita lebih prihatin pada seberapa baik kemampuan anak membaca dan menulis daripada apakah mereka masih akan hidup minggu depan,” kata salah seorang guru di Brooklyn. Dari kasus ini memang tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa penanganan emosi bisa berkaitan dengan hidup orang lain.
            Apakah anak itu memang mengidap kelainan psikologis? Tidak. Banyak kasus menghebohkan yang tidak masuk akal dilakukan oleh orang normal yang sedang mengalami gangguan psikologis dan tidak terampil mengelolanya. Ingat kasus yang dikenal sebagai “pembunuhan gadis karier”? Peristiwanya mudah diingat, terjadi pada suatu hari yang panas di bulan Agustus 1963. Persis, pada saat yang sama ketika Martin Luther King, Jr. menyampaikan pidato terkenalnya, I have a Dream, di hadapan pawai hak-hak asasi di Washington.
            Janice Wylie (21) seorang peneliti di majalah Newsweek, dan Emily Hoffert (23) seorang guru sekolah dasar, ditemukan tewas mengenaskan di apartemen mereka. Tubuh mereka terikat, dan didapati luka tusukan serta sayatan pisau dapur. Pelakunya, Richard Robles, seorang kawakan yang telah melakukan perampokan lebih seratus kali. Ia baru saja mendapatkan pembebasan dari hukuman tetapi telah melakukannya lagi. “Saya bingung sekali. Kepala saya serasa meledak,” katanya sambil meratap, ketika mengenangkan peristiwa itu 25 tahun kemudian. Ia mengaku, rencananya melakukan pencurian itu untuk terakhir kalinya karena terdesak kebutuhan keuangan demi putrinya yang masih kecil. Ia tak menyangka, aksinya itu diketahui penghuni apartemen. Maksudnya, ia cukup mengikat dua penghuninya. Tapi, salah seorang gadis itu mengancam akan selalu mengingat wajahnya dan membantu polisi mencarinya. Ia panik, meraih botol soda dan memukul kepala mereka sampai pingsan. Di tengah gelombang amarah dan ketakutan, ia mengambil pisau dapur, menusuk dan menyayat-nyayat mereka hingga tewas.
            Robles laki-laki normal, hanya terserang gangguan psikologis dan tidak mampu mengatasinya. Penguasaan diri, sophrosyne (Yun.), atau temperantia (Lat.) yang menjadi kuncinya, yakni kemampuan untuk menghadapi badai emosi yang datang setiap saat. Orang dengan kemampuan demikian ini, dan bukannya menjadi “budak nafsu” dipuji oleh para bijak sejak zaman Plato. Masalahnya, amat sedikit orang yang dengan sadar mendidik emosinya. Shakespeare mencatat melalui dialog Hamlet dengan Horatio, “Tunjukkan padaku lelaki yang bukan budak nafsu, dan kan kusematkan dia di tali kalbuku....”
            Banyak orang mengalami buta emosi seperti Khalil dan Robles. Bahkan, mungkin istilah pendidikan emosi masih terdengar asing. Sebenarnya, tak ada orang atau anak-anak dari berbagai ras atau etnis bakal luput dari ancaman risiko ini. Urie Bronfenbrenner, pakar psikologi perkembangan dari Cornell University yang telah melakukan perbandingan internasional tentang kesejahteraan anak-anak berkomentar, “Kesibukan hebat, ketidakmantapan, dan tidak aktifnya kehidupan keluarga sehari-hari telah meluas di semua sisi masyarakat kita, termasuk yang berpendidikan tinggi dan yang kaya. Yang dipertaruhkan tak lain adalah angkatan berikutnya....” Senada dengan itu, benar yang dikatakan Erasmus bahwa harapan utama suatu bangsa terletak pada baiknya pendidikan kaum mudanya.
            Pendidikan, dengan memberikan perhatian pada pendidikan emosi, akan menyiapkan kecerdasan anak. Bukan hanya kecerdasan intelektual yang banyak diagungkan orang tua, atau kecerdasan emosional yang terbukti tak kalah pentingnya, tetapi juga kecerdasan pribadi (personal intelligence). Karenanya, orang tua memang mesti waspada pada perkembangan anak. Bukan hanya tentang lambatnya kemampuan menulis dan membaca, tetapi juga terhadap segala gangguan psikologisnya. Entah bawaan atau tercemar lingkungannya, termasuk keluarga.
            Tak jarang kekurangan-kekurangan anak dalam masa perkembangannya, justru disebabkan oleh kesalahan orang tua. Maksud baik orang tua justru menjadikan mereka tidak bisa menikmati firdausnya. Ingat saja film menarik 8 1/2. Anak-anak SD itu patungan menyerahkan uang pada seorang pelacur di pantai untuk membuka pakaiannya dan menari bersama-sama mereka. Semula, perkenalannya amat kebetulan, dan mereka tidak tahu apa pun tentang pelacur. Anak-anak itu pun didorong rasa gembira meminta, “Maukah kamu menari?” Lalu menari bersama, bergembira, tulus. Sampai pengasuh mereka, tentunya seorang dewasa, datang dan memarahi pelacur itu, memintanya berpakaian, dan mengomel. “Pada saat itu anak-anak tercemar. Sebelumnya mereka begitu suci,” kata narator dalam film.
            Mungkin benar, pada dasarnya anak-anak itu polos, tulus, dan suci. Karenanya, orang tua perlu hati-hati. Tak perlu banyak teori, seperti dikatakan Kate Samperi, “Sebelum menjadi ibu, saya memiliki seratus teori mengenai cara mendidik anak. Sekarang saya mempunyai tujuh anak tetapi hanya satu teori; cintailah mereka, terutama pada saat mereka paling tidak layak untuk dicintai.” (F.X. Warindrayana)

0 komentar:

Posting Komentar

 
Free Website templateswww.seodesign.usFree Flash TemplatesRiad In FezFree joomla templatesAgence Web MarocMusic Videos OnlineFree Wordpress Themes Templatesfreethemes4all.comFree Blog TemplatesLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesSoccer Videos OnlineFree Wordpress ThemesFree Web Templates