twitter
    Find out what I'm doing, Follow Me :)

Ketika Terlalu Banyak Tepuk Tangan


            Kamar Pearl, bocah kelas III SD, tertata rapi. Kertas-kertas bersih dan rapi. Meja bersih dan rapi. Pearl yang sempurna selalu bekerja sebaik mungkin. Ia tidak pernah menimbulkan masalah di rumah maupun di sekolah. Tulisan tangan mendapat nilai A, pengejaan pun bagus. Tetapi, hari ini Pearl tidak menyelesaikan tugasnya.
            Hari ini Ibu Jones, guru kelasnya, memberikan tugas kepada murid-murid untuk menulis cerita karangan mereka. Murid-murid yang lain sudah mulai menulis sejak 20 menit yang lalu, tetapi Pearl belum menulis sepatah kata pun. Akhirnya, dengan takut-takut ia mengangkat tangannya. “Ibu Jones,” katanya setengah merengek, “Saya tidak tahu apa yang harus saya tulis.” Ibu Jones kebingungan, mengapa Pearl yang begitu cerdas, yang biasa menyelesaikan halaman buku kerjanya dengan sempurna, dan yang menggunakan tata bahasa tanpa cela, tidak dapat menentukan satu topik untuk karangan satu halaman? Ibu Jones memberi beberapa saran, dan Pearl mendengarkan dengan tenang. Air matanya mengambang, “Ibu Jones, bagaimana saya dapat menulis suatu cerita jika tidak menemukan topik yang sempurna?”
            Pearl mulai menghadapi masalah. Selama tugasnya nyata dan khusus, ia berprestasi baik. Tetapi, ketika ia harus berpikr abstrak, menarik kesimpulan berdasarkan penalaran, mengeluarkan gagasannya sendiri, atau mengambil tindakan berisiko, ia menjadi lumpuh karena takut gagal. Pearl yang berbakat, yang sejak bersekolah berada di puncak kelas, mulai merosot menjadi siswa yang pas-pasan di sekolah menengah.
            Kasus Pearl hanyalah salah satu contoh yang diajukan Dr. Sylvia Rimm, Direktur Pusat Prestasi Keluarga di Pusat Medis Metrohealth di Cleveland dan Guru Besar Klinis di Case Western Reserve University School of Medicine, penulis buku Why Bright Kids Get Poor Grades. Rimm memberikan peringatan bahwa anak berbakat sangat rawan menjadi kurang berprestasi. Lingkungan keluarga dan pengalaman bersekolah amat berpengaruh pada masa kanak-kanak. “Semua anak berbakat yang saya lihat di Family Achievement Clinic, sekurang-kurangnya mempunyai satu orang dewasa yang terlibat pada awal tahun pertama anak,” kata Rimm. Dalam proses keterlibatan ini ada risiko anak pada umumnya akan tergantung pada hubungannya dengan orang dewasa. Atau, anak akan menjadi “berkuasa” karena otoritas yang diberikan oleh orang dewasa.
            Pada anak berbakat, masih ada risiko tambahan. Biasanya, anak berbakat memiliki perbendaharaan kata yang banyak, komentarnya cerdas, penalarannya seperti orang dewasa. Atau, memiliki kemampuan lebih di bidang seni dan lainnya. Semuanya itu menarik lebih banyak perhatian orang dewasa di sekitarnya, daripada perhatian yang biasa mereka berikan pada anak-anak lain. Mereka terus menerus menunjukkan kekaguman dan memberikan tepuk tangan kepada si anak berbakat.
            Tetapi, apa sebenarnya yang dimaksud dengan berbakat? Dalam seminar nasional bertajuk “Alternatif Program Pendidikan bagi Anak Berbakat” dirumuskan bahwa “yang dimaksud dengan anak berbakat ialah mereka yang karena memiliki kemampuan-kemampuan yang unggul mampu memberikan prestasi yang tinggi”. Kemampuan-kemampuan itu antara lain meliputi intelektual umum, akademik khusus, berpikir kreatif-produktif, salah satu bidang seni, psikomotorik/kinestetik, dan psikososial. Kalangan pendidik dan psikolog dewasa ini lebih mengartikan keberbakatan seorang anak tidak hanya dari tingkat kemampuan yang tinggi, tetapi juga kreativitas dan komitmen terhadap tugas (minat) serta motivasi untuk berprestasi.
            Potensi keberbakatan memang tidak terlepas dari unsur genetis atau kemampuan dasar, namun tetap saja dibutuhkan adanya kondisi yang memberikan kesempatan agar kemampuan dasar tersebut berkembang. Lembaga-lembaga khusus bagi pengembangan keberbakatan anak di Indonesia, seperti yang dikembangkan oleh Prof. Dr. Utami Munandar di Jakarta, masih amat kurang. Karenanya, peran orang tua, sekolah, dan masyarakat amat dibutuhkan. Sayangnya, respons mereka atas kemampuan lebih seorang anak kadang amat berlebihan. Mereka terlalu bersemangat memberi tepuk tangan, sehingga dalam diri si anak tertanam pemahaman bahwa dirinya hebat. Orang tua mungkin perlu diingatkan bahwa anak berbakat tetaplah seorang anak, dengan kebutuhan-kebutuhan seperti anak yang lain; dan keberbakatan adalah sekunder. Dengan demikian anak bakal bertumbuh wajar, tidak seperti Pearl yang mematok tinggi targetnya dan tidak siap gagal. Juga, tak perlu prestasinya jadi melorot tajam seiring keyakinan dirinya yang merosot ketika mengalami kegagalan. (F.X. Warindrayana)

0 komentar:

Posting Komentar

 
Free Website templateswww.seodesign.usFree Flash TemplatesRiad In FezFree joomla templatesAgence Web MarocMusic Videos OnlineFree Wordpress Themes Templatesfreethemes4all.comFree Blog TemplatesLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesSoccer Videos OnlineFree Wordpress ThemesFree Web Templates