twitter
    Find out what I'm doing, Follow Me :)

Non Scholae Sed Vitae Discimus

            Halaman sekolah dasar dusun di barat kota Yogyakarta itu terasa sejuk diteduhi pepohonan rindang. Sawah-sawah di seberang jalan tampak menghijau segar. Angin pun bertiup semilir siang itu, membuat suasana terasa santai. Tetapi, tidak dengan anak-anak SD yang sedang belajar di kelas. Mereka tampak belajar dengan serius agar nilai mereka tidak mengecewakan guru-guru. Murid-murid kelas VI bahkan harus masuk lagi pada sore hari untuk menambah pelajaran, agar mereka berhasil lulus dengan NEM tinggi.
            Bukan rahasia lagi, NEM tinggi akan menaikkan gengsi sekolah. Sekaligus, menjadi kepuasan para guru. Karena itulah, di sekolah tersebut guru-guru rela tidak menerima honor les tambahan. Tentu, mereka ekstra lelah. Begitu pun para murid, pagi sekolah, sore les, dan malam mengerjakan PR. Kapan bermain dan bersantai? “Anak-anak mesti sekolah,” ujar seorang ibu ketika ditanya apakah semua anaknya disekolahkan. Mengapa? Untuk apa? Pertanyaan itu menyusul. “Supaya pandai dan mudah cari kerja,” jawabnya. Tetapi, untuk apa kerja? Untuk hidup, begitukah?
            Ah, konyol pertanyaan itu. Apa perlunya menanyakan atau mempertanyakan sesuatu yang bakal memasukkan diri pada benang kusut sistem pendidikan kita? Tetapi, jangan-jangan kita memang sudah telanjur konyol karena mekanisme dan sistem telah terstruktur sedemikian rupa sehingga kita mau tidak mau terhanyut di dalamnya. Tengok saja betapa “berkuasanya” lembaga sekolah itu karena dipercaya sebagai satu-satunya lembaga yang berkompeten membuat anak menjadi pandai. Juga menjadi lembaga resmi yang berhak melegitimasi standar kualifikasi diri melalui selembar ijazah. Dan, lembar ini yang bakal turut berperan besar dalam persaingan memasuki pasar kerja. Orang pun bisa jadi ramai-ramai bersekolah untuk mendapatkan lembar itu. Rawan penyimpangan, memang. Bukan rahasia lagi bahwa banyak terjadi jual beli nilai, ijazah, dan gelar di dunia pendidikan kita.
            Bisa dibayangkan angkatan kerja macam apa yang dihasilkan. Persaingan di dunia kerja pun bakal menjadi keras, secara sehat atau tidak sehat. Bukankah yang berbekal ijazah beli pun butuh kerja untuk hidup? Rasa-rasanya, hidup jadi sumpek bagi orang yang masih punya keprihatinan akan hal itu. Orang terkondisi menjadi pragmatis sempit, mengharapkan hasil dari usaha dan kerja jangka pendek mereka. Max Weber pernah memberi perspektif lain dalam bukunya tentang kapitalisme bahwa “kita tidak bekerja untuk hidup, melainkan hidup untuk bekerja”. Mungkin maksudnya hidup sudah ada pada kita, tinggal kita mengisinya dengan kerja. Atau, kerja itulah panggilan hidup dan aktualisasi manusia. Tetapi, paham ini pun bisa melahirkan semangat kerja gila-gilaan. Kerja untuk kerja. Di tengah hiruk-pikuk kerja ini, mungkinkah kita berpikir tentang “santai”?
            Itu bukan pikiran kaum “hippies”, juga bukan hedonis. Kendati tidak lagi mudah dipahami, tetapi Aristoteles menunjukkan bahwa bagi masyarakat Yunani waktu itu pendapat tersebut umum diterima. Santai, dijelaskan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai “keadaan bebas atau senggang”, merupakan pusat segala-galanya. Aristoteles memakai kata “skole” untuk menunjukkan keadaan senggang tersebut. Kata itu diserap dalam bahasa Latin menjadi “schola”, yang lalu kita kenal dalam bahasa Indonesia sebagai “sekolah”. Menarik, dan barangkali mengejutkan juga, bahwa sekolah yang kini sungguh terasa membebani anak-anak dengan tugas-tugas menyita waktu itu ternyata secara etimologis berarti “santai” atau “keadaan senggang”.
            Santai tidak harus diartikan sebagai pasif dan konsumtif, tetapi bisa juga aktif dan kreatif. Santai adalah salah satu sikap jiwa di wilayah spiritual yang tidak harus dimunculkan oleh faktor-faktor ekstrinsik seperti waktu luang atau hari libur. Sikap itu berlawanan dengan sikap yang hanya mementingkan kegiatan lahiriah. Santai itu “berdiam diri”, menyelaraskan jiwa sebelum mampu menangkap kenyataan. Hanya orang yang diam, yang mampu mendengarkan, menerima, dan menjawab kenyataan. Dick Hartoko, dalam Tonggak Perjalanan Budaya, menggambarkan kedalaman pengertian santai ini dengan menunjuk adanya semacam rasa bahagia yang terkandung di dalamnya. Santai memungkinkan orang mengadakan kontak dengan dunia transendens yang mengatasi dunia manusiawi, sekaligus menyerap roh yang menyegarkan diri kembali.
            Kalau mesti dipahami begitu, betapa bijaknya filosofi santai itu. Dan, yang namanya sekolah itu akan menjadi tempat pembelajaran bijaksana, tempat anak-anak bermain dan belajar tentang hidup ini. Bukan membebani mereka untuk sekadar mengejar angka-angka yang bakal tertera pada selembar kertas. Seperti kata Seneca, non schole sed vitae discimus, bukan untuk sekolah tetapi untuk hidup kita belajar. (F.X. Warindrayana)

0 komentar:

Posting Komentar

 
Free Website templateswww.seodesign.usFree Flash TemplatesRiad In FezFree joomla templatesAgence Web MarocMusic Videos OnlineFree Wordpress Themes Templatesfreethemes4all.comFree Blog TemplatesLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesSoccer Videos OnlineFree Wordpress ThemesFree Web Templates