twitter
    Find out what I'm doing, Follow Me :)

Thomas Alva Edison

            Pada suatu hari di tahun 1854. Seorang bocah tujuh tahun sambil menangis meninggalkan sekolahnya. Ia mengenggam selembar kertas berisi pesan dari gurunya untuk diberikan kepada orang tuanya, "Karena anak Anda terlampau bodoh dan tak mampu memahami pelajaran serta menghambat kemajuan proses pembelajaran di sekolah, dan demi rasa tanggung jawab kami terhadap murid-murid yang lain, maka kami sangat mengharapkan agar anak ini secara terhormat mengundurkan diri dari sekolah.”
            Kedua orang tuanya, Samuel Ogden dan Nancy Elliot Edison, tak kuasa menolak. Mereka menyadari bahwa si bungsu dari tujuh bersaudara, yang lahir tanggal 11 Februari 1847 di Milan, Ohio, Amerika Serikat itu kadang memang bertingkah aneh. Misalnya saja, pada usia enam tahun ia pernah mengerami telur ayam. Tetapi, mereka tidak pernah menganggap anaknya bodoh. Apalagi, mengolok-olok, menegur, atau memarahi karena “kebodohannya”. Karenanya, mereka sangat terpukul ketika anaknya dikeluarkan dari sekolah yang baru dijalaninya tiga bulan.
            Yang lebih memprihatinkan adalah bahwa gurunya menilainya terlalu bodoh. Sekadar berbeda dan kadang bertingkah tidak lazim tentu bukan berarti bodoh. Maka komentar-komentar yang dilontarkan pun menjadi terasa sangat menghakimi dan tidak adil. Bukan tidak mungkin anak yang sebenarnya tidak bodoh, atau bahkan anak pandai sekali pun, benar-benar akan jadi bodoh jika gencar dicap sebagai anak bodoh. Anak yang mendapat label negatif bukan tidak mungkin akan memiliki konsep diri yang negatif pula. Misalnya, anak yang sering dikatakan nakal akan cenderung bersikap sebagai anak yang nakal. Terlebih jika yang memberi cap semacam itu adalah orang-orang terdekatnya, terutama orang tua atau gurunya.
            Disadari atau tidak, orang tua kerap memberikan label kepada anaknya. Saat si anak terlihat malu-malu, orang tua langsung menegur, "Ayo, dong! Masak anak Mama pemalu gitu sih? Malu-maluin aja!" Atau, saat si anak bolak balik penasaran menyentuh patung mahal di ruang tamu, "Jangan dipegang-pegang terus. Kamu kok nakal banget sih, enggak bisa dikasih tahu!" Di sekolah, guru pun sama saja. “Kamu kok bodo banget sih? Soal mudah gini aja tidak bisa!”
Sebenarnya, pemberian label ini tidak melulu berisi cap bermakna negatif seperti nakal, bandel, malas, hitam, gendut, dan jelek. Kerap kali orang tua dan guru juga memberikan label melalui kata-kata yang bermakna positif seperti pintar, cerdas, cantik, dan hebat. Keduanya bisa saja berdampak buruk, apalagi kalau tidak berpijak pada kondisi faktual si anak. Anak yang terlalu sering dipuji berkemungkinan menjadi sombong. Sementara anak yang sering dicela cenderung mempunyai konsep diri negatif dengan meyakini bahwa dirinya lemah, tidak berdaya, tidak dapat berbuat apa-apa, dan tidak kompeten.
            Sebaliknya, seseorang dengan konsep diri yang positif akan terlihat lebih optimis, penuh percaya diri dan selalu bersikap positif terhadap segala sesuatu, juga terhadap kegagalan yang dialaminya. Kegagalan lebih menjadikannya sebagai penemuan dan pelajaran berharga untuk melangkah ke depan. Konsep diri positif seperti inilah yang ada dalam diri Nancy Elliot dan diterapkan pada anaknya, sehingga sang anak tak terpengaruh label bodoh yang diberikan sekolahnya.
            Memang, setelah membaca pesan guru yang dibawa anaknya, Nancy tak mampu menahan sedih. Air matanya mengalir deras. Tetapi, ia sama sekali tak percaya kalau anaknya itu terlampau bodoh dan tak mampu memahami pelajaran sekolah. "Kalau guru tidak bisa mengajarnya, aku akan menjadi guru bagi anakku sendiri," tekadnya. Nancy, yang pernah berprofesi sebagai guru, lalu mengajarinya membaca, menulis, dan berhitung. Ternyata si anak dengan cepat menyerap yang diajarkan ibunya.
            Anak ini kemudian sangat gemar membaca berbagai jenis buku, berjilid-jilid ensiklopedi, sejarah Inggris dan Romawi, ilmu kimia karangan Richard G. Parker, kamus IPA karangan Ure, dan Principia karangan Newton. Di akhir hidupnya, anak yang dianggap bodoh oleh para gurunya itu mendapat penghargaan amat besar oleh seluruh penduduk Amerika. Pada tanggal 18 Oktober 1931, jam 21.55, seluruh Amerika gelap gulita. Penduduknya memadamkan semua lampu listrik untuk mengenang jasa penemunya, seorang penemu terbesar sepanjang sejarah, dengan 3.000 temuan. Dialah Thomas Alva Edison, seorang yang dianggap bodoh namun telah mengubah arah perkembangan dunia. Ia tidak pernah menyerah pada label negatif yang diberikan orang lain berkat pengasuhan tepat ibunya. (F.X. Warindrayana)

0 komentar:

Posting Komentar

 
Free Website templateswww.seodesign.usFree Flash TemplatesRiad In FezFree joomla templatesAgence Web MarocMusic Videos OnlineFree Wordpress Themes Templatesfreethemes4all.comFree Blog TemplatesLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesSoccer Videos OnlineFree Wordpress ThemesFree Web Templates