twitter
    Find out what I'm doing, Follow Me :)

Menyiapkan Kesuksesan

            Seorang ibu guru berdiri di depan pintu kelas. Setiap musim gugur, ia selalu memperhatikan pemandangan yang sama. Anak-anak dengan wajah berseri, pakaian bersih dan rapi, serta sepatu baru mengkilap memasuki kelas. Saat memandang ekspresi wajah-wajah polos itu, benaknya selalu digoda pertanyaan-pertanyaan. Apa yang bakal terjadi dalam tahun ajaran ini? Akankah anak-anak ini belajar dan berkembang penuh percaya diri? Akankah kelas ini menjadi baik atau akan timbul berbagai masalah? Anak-anak mana yang bakal menjadi bintang, dan mana yang bakal menjadi gangguan?
            Setiap awal tahun ajaran baru menimbulkan berbagai pertanyaan dan tantangan di benak para guru. Mereka ingin semua muridnya berhasil di kelas. Kegelisahan dan harapan yang sama muncul juga di benak para orang tua. Mereka pun tahu di antara sekian banyak anak pasti ada yang semangatnya lemah, tidak mau berusaha maksimal, dan butuh selalu diberi motivasi. Adakah anaknya termasuk dalam kategori itu? Sama seperti para guru, orang tua pun ingin anaknya berhasil di sekolah.
            Sylvia Rimm, doktor psikologi pendidikan dan Direktur Pusat Prestasi Keluarga di Pusat Medis MetroHealth di Cleveland, suatu ketika tampil selama 5 menit untuk wawancara dalam acara NBC TV’S Today membahas masalah anak kurang berprestasi yang berbakat. Topik dalam acara yang memang populer di Amerika ini mengundang lebih 2.000 tanggapan melalui telepon dan ribuan surat para orang tua dari segala penjuru! Tanggapan yang terkesan luar biasa ini sebenarnya amat wajar terjadi dalam masyarakat yang memiliki kesadaran tinggi akan pentingnya peran sekolah dan keluarga dalam mendidik anak.
            Topik soal keberhasilan dan prestasi di sekolah selalu menarik bagi para orang tua. Begitu pula mengenai hal-hal yang menghambat prestasi anak. Sebuah studi di Amerika Serikat menemukan bahwa ternyata 10% sampai 20% anak yang drop out dari sekolah menengah memiliki jenjang kemampuan di atas rata-rata. Penelitian itu dilengkapi pula dengan masalah-masalah yang dianggap menjadi penyebabnya. Pertama kali disebut adalah televisi, disusul kebobrokan keluarga, siswa yang terlalu banyak dalam satu kelas, kesibukan di sekolah, tidak adanya integrasi rasial, tidak cukup waktu untuk pelajaran di kelas, kekurangan dana, dan disiplin yang rendah.
            Sindrom “prestasi di bawah kemampuan” cenderung menyebar luas, berjangkit bukan hanya di ruang-ruang kelas tetapi juga di banyak keluarga. Disadari masalah itu bisa mempengaruhi harga diri dan kualitas hidup si anak kelak. Dewasa ini, salah satu perhatian utama orang tua adalah pendidikan anak. Bimbingan orang tua mampu mempengaruhi keberhasilan belajar anak-anak di sekolah menjadi sebanding dengan IQ mereka, bahkan bisa jadi bakal melebihi. Seorang pakar pendidikan, Claire Safran, sebagaimana dikutip Reader’s Digest, menyatakan bahwa “baik buruknya anak Anda di sekolah sebagian besar bergantung pada Anda”. Hal senada diungkapkan pula oleh sebuah kelompok studi nasional di Amerika Serikat bahwa orang tua memainkan peranan menentukan dalam pendidikan anak. Baik buruknya prestasi belajar anak di sekolah berkaitan erat dengan bimbingan orang tua di rumah.
            Tentu saja, keberhasilan anak di sekolah tidak begitu saja terjadi. Baik orang tua maupun anak mesti kerja keras. Seperti diungkapkan William dan Susan Stainback, keduanya doktor dalam bidang pendidikan, bahwa anak-anak mesti belajar membuat jadwal dan setia menjalankannya, menggunakan keterampilan studi supaya mampu belajar secara efektif dan efisien, serta termotivasi menjadi yang unggul. Masih menurut mereka, para orang tua di Jepang dan negara-negara Asia percaya bahwa dengan kerja keras dan tekun setiap anak dapat menguasai tugas sekolah. Beberapa anak bahkan dapat menguasainya dengan lebih mudah dibandingkan anak-anak lainnya. Hasilnya, prestasi sekolah anak-anak itu lebih tinggi dibandingkan anak-anak lain seusia mereka.
            Barangkali bukan hanya kerja keras yang membuat prestasi belajar anak-anak itu unggul namun juga unsur afektif keluarga dan lingkungan yang mendukung. Hal ini disampaikan oleh A. Supratiknya, Ph.D., psikolog dan pakar pendidikan dari Universitas Sanata Dharma Jogjakarta. Menurutnya, anak-anak imigran dari Asia lebih unggul dari anak-anak Amerika antara lain karena anak-anak imigran ini di rumah masih mempunyai tradisi kehangatan keluarga, masih sempat bermain bersama, masih mengasuh adik, dan seterusnya. Unsur-unsur afektif ini yang cenderung makin menipis pada masyarakat modern. Mulai jarang ditemukan orang tua yang masih sabar mendampingi anaknya belajar, turut berjaga sampai larut malam, atau bangun pagi-pagi menemani anak menyiapkan materi ujian. Jangankan sejauh itu, barangkali saja orang tua enggan menghentikan nonton tayangan televisi, sementara anaknya sedang berjuang untuk belajar.
            Menarik, mengingat sepenggal kalimat Sylvia Rimm dalam pengantar buku yang ditulisnya, “Sewaktu mendekap anak kita yang baru lahir, kita merasakan ketakutan, tantangan, dan semangat saat menyadari beratnya tanggung jawab kita sebangai orang tua.” (F.X. Warindrayana)
 
Free Website templateswww.seodesign.usFree Flash TemplatesRiad In FezFree joomla templatesAgence Web MarocMusic Videos OnlineFree Wordpress Themes Templatesfreethemes4all.comFree Blog TemplatesLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesSoccer Videos OnlineFree Wordpress ThemesFree Web Templates