twitter
    Find out what I'm doing, Follow Me :)

Lagu Terima Kasih

           
            “Di waktu ku masih kecil, gembira dan senang. Tiada duka kukenal, tak kunjung mengerang. Di sore hari nan sepi, ibuku bertelut; sujud berdoa, kudengar namaku disebut. Di doa ibuku, namaku disebut….”
            Suara bocah yang melantunkannya, Natashia Nikita, terdengar polos menggetarkan perasaan. “Saat Nikita menyanyi, banyak orang tua tak mampu menahan tangis haru,” kata Lili Tanjaya, ibunya, kepada Familia. Kendati bukan Nikita yang melantunkan, keharuan toh muncul juga di tengah jemaat IFGF/GISI Everett-Washington ketika lagu itu bergema. Ceritanya, waktu itu ada conference para walikota seluruh Asia Tenggara di Seattle Convention Center. Pada hari Minggu, Drs. Wempie Fredrik, walikota Manado waktu itu yang hadir bersama istri sempat merayakan kebaktian bersama jemaat IFGF/GISI. Hari itu tanggal 13 Mei, bertepatan Mother’s Day yang dirayakan oleh seluruh warga AS. Para ibu diminta maju ke depan dan anak-anak menyanyikan lagu tersebut. Tak pelak lagi, para orang tua tidak mampu menahan keharuan. Apalagi, di akhir lagu satu per satu anak-anak itu menyampaikan ucapan terima kasih disertai ucapan, “I love you, Mom!”
            Mengapa ibu? Mungkin, karena ibu identik dengan pengasuhan anak-anak yang di dalamnya termuat kedekatan dan kehangatan. Secara tradisional, pengasuhan anak merupakan bagian dari tugas ibu rumah tangga dalam fungsinya mengasuh dan mendidik. Jenis pekerjaan yang dikenal dengan istilah unpaid work ini kadang memang kurang mendapat penghargaan. Padahal, dilihat dari beban kerjanya menurut hasil survei Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP), total jam kerja perempuan di hampir semua negara, termasuk di dalamnya pekerjaan tak berupah, lebih lama dari total jam kerja laki-laki yang bekerja di sektor formal. Jumlah jam kerja tak dibayar yang dilakukan laki-laki tidak sampai seperempat total jam kerja mereka, sementara itu perempuan mencapai dua pertiga. Kendati begitu, nyaris tak terdengar protes para ibu menuntut hak atas beban sosial dan ekonomi yang ditanggungnya. Mereka tetap tulus melakukan tugasnya. Ironis, kalau karena itu lalu secara sosial, masyarakat cukup berterima kasih dan menghormati para ibu dengan sebuah seremoni yang diberi tajuk Hari Ibu.
            Sayang, Drs. Wempie Fredrik hanya mengalami Mother’s Day dalam kunjungannya ke Washington karena sebenarnya di sana dikenal pula Father’s Day. Di negara-negara yang masyarakatnya lebih maju, soal pengasuhan sudah dihayati sebagai tanggung jawab bersama. Suami dan istri memerankan fungsi ayah dan ibu bagi anaknya dengan kompak. Tengok saja penuturan Benoit Methot seperti ditulis Tina dari Today’s Parent. Insinyur mekanik dari Quebec ini musim panas lalu mengambil cuti selama tiga bulan penuh untuk merawat bayi perempuannya di rumah. Ketika Ariane, putri tersayangnya itu berusia tujuh bulan, Sharon Coyle, istrinya, kembali bekerja. Karena tak mau menitipkan anak di TPA, mereka sepakat bahwa sang ayah akan ganti tinggal di rumah merawat Ariane. Pada bulan September Methot sudah kembali bekerja, dan mengatakan bahwa tiga bulan kemarin adalah masa paling istimewa yang pernah dialaminya.
            Drew dan Valerie Ellis, pasangan dari Ontario ini pun bisa diambil sebagai misal. Mereka menyusun jadwal kerja masing-masing dengan serius sehingga bisa bergantian merawat Cleary, anak mereka. Valerie selalu bangun pukul 03.30 dini hari dan bekerja dari pukul 05.00 sampai siang di YMCA. Lalu, ia segera pulang supaya Drew dapat bersiap-siap untuk bekerja pada pukul 15.00. “Kami terbiasa berkomunikasi lewat catatan yang kami tinggalkan di rumah,” kata Drew mengenang masa-masa awal putrinya.
            Apakah semua ayah di sana seperti Methot atau Drew? Tentu tidak. Tetapi, ada kecenderungan ayah masa kini lebih mau terlibat dalam pengasuhan anak. Menurut Josep Pleck, psikolog sosial dari University of Illinois di Urbana, paling tidak ada delapan studi yang menegaskan bahwa para ayah masa kini lebih dekat dengan anak-anaknya dan meyediakan waktu lebih banyak untuk mereka. Ini berawal sejak munculnya kecenderungan para ibu untuk bekerja sejak tahun 1970-an. Tak bisa dihindari, dewasa ini pun struktur keluarga Indonesia tengah mengalami proses transformasi sosial dari keluarga batih (extended family) menuju keluarga inti. Dampaknya, pasangan suami-istri tak bisa lagi mengalihkan fungsi pengasuhan anak kepada kerabat serumah. Mereka mesti kompak berperan sebagai ayah dan ibu kalau tak mau menyerahkan anak ke TPA.
            Konflik internalnya adalah sang ibu bingung mengatur waktu agar bisa bekerja di sektor formal, sementara sang ayah bingung mengatur waktu untuk anak. Perubahan akan terjadi bertahap. Para ayah tak canggung lagi melakukan tugas pengasuhan. Kini tak mustahil, anak bisa menjadi lebih dekat dengan ayahnya daripada dengan ibunya. Gaya pengasuhan ayah yang cenderung rasional, memberi alasan kalau melarang, atau mampu memberi rasa nyaman dan senang dalam bermain, menjadikan sosoknya tak lagi ditakuti anak seperti di masa lalu. Suatu saat bakal muncul juga lagu-lagu yang mengungkapkan kebanggaan seorang anak terhadap ayahnya. Tetapi, entahlah, apakah para ayah membutuhkan lagu. Atau, sebenarnya para ibu pun tak membutuhkannya karena keduanya tulus mengasuh anaknya. (F.X. Warindrayana)
 
Free Website templateswww.seodesign.usFree Flash TemplatesRiad In FezFree joomla templatesAgence Web MarocMusic Videos OnlineFree Wordpress Themes Templatesfreethemes4all.comFree Blog TemplatesLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesSoccer Videos OnlineFree Wordpress ThemesFree Web Templates