twitter
    Find out what I'm doing, Follow Me :)

Memaafkan

            Tanggal 13 Mei 1981, ketika memasuki lapangan Santo Petrus untuk menyampaikan pidato dalam sebuah audiensi umum Yohanes Paulus II ditembak dari jarak dekat dan nyaris tewas. Lukanya lebih berat dari yang diperkirakan semula. Ia terpaksa menjalani perawatan di rumah sakit sampai dua kali. Si penembak, Mehmet Ali Agca, seorang warga negara Turki, mengaku di hadapan penyidik kepolisian Italia bahwa dinas rahasia Bulgaria dan KGB Uni Soviet terlibat dalam usaha pembunuhan ini.
            Suatu pagi di bulan Januari 1984 Yohanes Paulus II mengunjungi sebuah sel di penjara Rebibbia, Roma. Ia menjabat tangan penghuni sel itu, Mehmet Ali Agca, yang telah melakukan usaha percobaan pembunuhan terhadap dirinya. Ia memaafkan orang yang telah menembakkan peluru ke dadanya dan nyaris membuatnya tewas. Esoknya semua surat kabar menurunkan berita itu.
            Yohanes Paulus II adalah seorang Paus, seorang pemimpin rohani Katolik, orang menganggap wajar ia bersikap sebagai seorang pemaaf yang profesional. Apalagi, ia terkenal. Ada pendapat umum, mudah bagi seorang terkenal untuk memberikan maaf bila diketahui bahwa perhatian seluruh dunia tertuju kepadanya, dan memperhatikan setiap tindakannya. Tetapi, bagi orang biasa yang tidak diperhatikan oleh seorang pun, akan mudahkah memberi maaf?
            Seorang Yahudi yang sedang menjalani kerja paksa di kamp konsentrasi di Lvov, Ukraina, dipanggil oleh seorang perawat ke tempat tidur seorang perwira Nazi yang hampir meninggal. Karl, perwira itu, menceritakan kesedihan ibunya ketika ia bergabung dengan angkatan muda Hitler. Ia tidak mempedulikan ibunya dan masuk dalam ketentaraan. Suatu saat satuan unitnya mengepung 200 orang Yahudi. Di antaranya perempuan, anak-anak, dan bayi. Mereka dikunci dalam sebuah rumah kecil. Karl dan pasukannya melempari rumah itu dengan granat. Terdengar ledakan berbaur dengan jeritan panik dan tangisan. Rumah itu terbakar. Sebagian orang Yahudi dengan anak-anak dalam pelukan berusaha keluar melalui jendela, tetapi Karl dengan sigap menembaki mereka.
            Beberapa hari kemudian, dalam sebuah pertempuran Karl mengalami luka berat dan buta sama sekali. Hal terakhir yang diingatnya sebelum buta adalah seorang Yahudi dalam nyala api dengan seorang anak yang terbakar dalam pelukannya, berjalan menghampirinya. Sekarang, ketika ia terbaring hampir mati, bayangan itu terus mengusiknya. Dalam kegelisahan itu ia ingin berdamai dan dimaafkan oleh seorang Yahudi. Dan, kini di hadapannya telah berdiri seorang Yahudi! Tetapi, si Yahudi itu hanya diam mematung. Lukanya terlalu dalam, ia kehilangan hampir seluruh keluarganya, hingga ia tak mampu mengucap sepatah kata maaf. Dialah Simon Wiesenthal, si Yahudi yang kemudian terkenal sebagai pemburu penjahat-penjahat perang.
            Pada banyak orang, rasa sakit yang ditimbulkan oleh kejadian pada masa lampau tetap berkecamuk di dada mereka. Dan, mereka tak mampu menguasai deburan rasa yang bergulung-gulung dalam dada itu. Tetapi, apakah semua orang Yahudi pada masa itu menyimpan dendam dahyat tersebut? Hannah Arendt (1906-1975), seorang filsuf Yahudi, dalam The Human Condition (1958) menulis bahwa satu-satunya kekuatan yang dapat menghentikan arus ingatan terhadap rasa sakit adalah kemampuan untuk memaafkan. Begitu sederhana kesimpulannya.
            Tetapi, mengapa kita harus memaafkan? Apakah itu adil? Dan, berbagai pertanyaan lain bisa ganti berkecamuk dalam diri. Sepintas, memberi maaf tampak sebagai perbuatan bodoh yang aneh. Prinsip keadilan menempatkan orang yang berbuat salah harus menanggung akibat perbuatan salahnya itu. Hukum positif pun mengatur jelas sanksi-sanksi tindakan salah. Harapannya, manusia menjadi ingat akan moralitas baik sebagai semangat dasar tiap tindakan. Moralitas adalah kewajiban untuk mengambil keputusan yang benar. Sedangkan memaafkan adalah kebebasan untuk mengambil keputusan yang salah.
            Memaafkan sangatlah bernilai justru karena bukan merupakan suatu kewajiban. Bagi sebagian orang memaafkan adalah konsekuensi atau risiko dari cinta. Mungkin, memaafkan adalah risiko yang paling berat dari upaya mencintai. Di lain pihak, memaafkan dengan tulus itu dimampukan oleh cinta sejati yang dimiliki. Paling tidak, itu ajaran cinta yang dihidupi Yohanes Paulus II. Tindakan itu sekaligus menjadi tolok ukur kepenuhan jati diri dan kearifan seorang pribadi.
            Kalau seorang Paus dan mungkin banyak orang lain mampu memaafkan, pasti pada mereka ada cinta. (F.X. Warindrayana)


           

0 komentar:

Posting Komentar

 
Free Website templateswww.seodesign.usFree Flash TemplatesRiad In FezFree joomla templatesAgence Web MarocMusic Videos OnlineFree Wordpress Themes Templatesfreethemes4all.comFree Blog TemplatesLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesSoccer Videos OnlineFree Wordpress ThemesFree Web Templates