twitter
    Find out what I'm doing, Follow Me :)

Satu Pagi yang Berharga


Ini cerita lama tentang anakku. Sabar... konon, menyikapi tingkah laku anak mesti sabar. Apalagi kalau anak kita sedang memasuki masa aktif-aktifnya dan termasuk yang banyak maunya. Seperti pagi itu kualami dengan anakku, Andre, yang belum berusia 4 (empat) tahun. Begitu bangun pagi, ia minta main-main dulu di luar. Kulihat ia mengambil sepedanya lalu dinaiki di halaman.
Sudah agak lama ia bisa naik sepeda roda dua, bahkan sepeda itu sudah beberapa kali rusak karena cara bersepedanya yang cenderung kasar, suka dinaiki menuruni anak tangga dari dalam rumah menuju halaman, atau diangkat-angkat. Kalau kutegur, ia selalu punya alasan. “Aku mau mencoba ‘jamping’, kok,” katanya. Ayahnya, hanya tertawa. “Biarkan saja ia mengeksplorasi lingkungannya,” begitu katanya. Pagi itu, ia jatuh menabrak gerobak soto yang parkir di samping rumah karena ia memegang stang dengan satu tangan. Ketika kutanya alasannya, ia dengan enteng bilang, “Tadi Andre pengin seperti Om Rossi….”
Ia lalu masuk rumah mengambil tool box-nya. Tool box itu berisi alat-alat beneran khusus milik dia. Itu juga ide ayahnya, agar anak merasa berharga dan setara dengan ayahnya yang sering mengutak-atik motor-motor tuanya. Jadilah pagi itu ia sudah sibuk dengan sepeda dan kunci-kunci pas, obeng, palu, dan alat lain yang berserakan di halaman. Ia masih asyik dengan alat-alat itu ketika kupanggil untuk mandi. “Cepat, nanti terlambat ke sekolah,” kataku. “Sebentar Ma, masih membetulkan sepeda” katanya. Hanya alasan, sepeda itu kan sama sekali tidak rusak, pikirku.
Ia masuk TK jam 09.00. Ketika sudah jam delapan lebih ia belum juga beranjak, aku mulai berteriak agak keras. Dengan bersungut-sungut ia masuk rumah. “Beresi dulu mainannya,” tegurku. Eh, dia menjawab, ”Mama saja, kan katanya Andre mesti cepat-cepat.” Pagi itu saat waktunya amat pendek, aku merasa ia justru usil dan banyak tingkah saat mandi. Aku sudah tak bisa menahan diri saat sikat giginya dipakai untuk menyikat gayung mandi. “Jorok, tidak benar itu,” kataku.
Selesai mandi, dengan tubuh masih basah, ia segera berlari ke kamar. Aku sempat meneriakinya tapi ia tak berhenti. Biasanya ia akan berhenti di atas keset kamar. Tetapi pagi itu ia tidak melakukannya. Tentu saja, lantai kamar jadi basah. “Kenapa tidak berhenti di atas keset? “ tanyaku mulai jengkel. Ia hanya diam, pura-pura tidak mendengar, malah membuka lemari pakaiannya dan mengalihkan tema pembicaraan. “Andre pakai baju yang ini saja ya, Ma,” katanya sambil menarik baju di tengah tumpukan. Tak terhindarkan, baju-baju di atasnya terseret lalu jatuh berantakan.
Ah, sepagi ini sudahkah aku mesti kehabisan kesabaran? Aku hanya diam saja. Ini reaksi maksimalku kalau sedang kesal, jengkel, atau marah. Aku tidak akan bisa mengungkapkan secara emosional yang mungkin bakal melegakan. Aku ingat, soal pengasuhan anak, ayahnya tak kalah rewelnya. Ia pasti akan bilang, “Kemarahan yang meledak-ledak itu satu bentuk kekerasan terhadap anak.” Jangankan marah, menggoda anak (mbebengek, Jw) yang maksudnya bercanda tapi sampai anak agak kesal saja, ia akan bilang, “Itu kekerasan emosional terhadap anak.” Apalagi, kalau instink primitif untuk mencubit atau memukul anak sampai teraktualisasi, ia pasti mengatakan itu KDRT atau melanggar “Konvensi Hak Anak” pasal sekian, entah berapa saja yang pernah disebutnya. Memang, ia selalu dengan ungkapan khasnya saat menyampaikan hal itu, yang lebih membuatku malu daripada marah atau tersinggung.
Aku tersentak dari diamku saat kurasakan tangan basah menyentuh lenganku, “Ma, Andre minta maaf.” Aku menarik nafas panjang, “Memang kenapa?” “Andre sudah lima kali berbuat salah,” jawabnya lirih sambil menunduk. Lima kali? Ia ingat dan menghitungnya? Apa saja? Aku bahkan tak sempat menghitungnya. “Andre tidak hati-hati lalu menabrak gerobak soto, tidak mengembalikan mainan… terus main-main dengan sikat gigi… terus membasahi lantai kamar, dan menjatuhkan baju-baju,” lanjutnya. Kejengkelanku rasanya sirna tiba-tiba. Aku segera memeluknya, dan mengatakan bahwa aku bangga padanya karena mengakui kesalahan. Tetapi, di sisi lain, aku malu pada diri sendiri karena telah menjadi emosional dan tidak minta maaf pada anakku. Sikapku barusan itu tidak sehat dan merugikan anak sendiri. Untung saja, anakku merespons dengan positif. (mama andre)

0 komentar:

Posting Komentar

 
Free Website templateswww.seodesign.usFree Flash TemplatesRiad In FezFree joomla templatesAgence Web MarocMusic Videos OnlineFree Wordpress Themes Templatesfreethemes4all.comFree Blog TemplatesLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesSoccer Videos OnlineFree Wordpress ThemesFree Web Templates