twitter
    Find out what I'm doing, Follow Me :)

Kecerdasan Kontekstual


            Ridwan Arif Nugroho, yang tinggal dan sedang menempuh studi di Minesawa-cho, Hodogaya-ku, Yokohama, Jepang punya pengalaman menarik. Ia menuturkan pengalamannya saat mengunjungi sebuah kuil (KR 4/6). 12 kilometer dari kota Yokohama ada kuil terkenal bernama Kawasaki Daishi. Banyak orang datang ke sana dengan bermacam-macam permintaan. Permintaan itu ditulis dan digantungkan pada tempat yang sudah disediakan. Suatu saat, ia bersama teman-teman sekelas berdarmawisata ke sana. Tak lupa ia menyempatkan diri membaca permintaan-permintaan itu. Kebanyakan permintaan itu ditulis dalam bahasa Jepang. Namun, ada satu yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Bunyinya, “Saya ingin mendapat suami yang kaya dan ganteng”.
            Sulit diterka maksud penulisnya, apakah ia serius dengan permintaannya atau sekadar iseng. Bisa jadi, ia serius dengan permintaan itu tapi agak sungkan. Terbukti, bahasa yang digunakan bukan Jepang (seandainya ia bisa berbahasa Jepang karena tinggal di sana). Malu, kalau ada yang iseng membacanya. Seturut kebiasaan atau budaya setempat, hal itu memang agak aneh. Keanehan ini pula yang ditangkap Ridwan dan ditulis untuk pembaca di Indonesia.
            “Suami kaya dan ganteng” menjadi target capaian si penulis permohonan. Kenapa bukan ia sendiri yang ingin menjadi kaya? Atau, ia pengin kaya tetapi dengan cara menjadi istri orang kaya? Ini yang aneh bagi kultur masyarakat di sana. Mereka terbiasa bekerja keras untuk meraih target-targetnya. Sejak kanak-kanak mereka dibiasakan belajar dengan tekun. Orang tua menuntut sekolah bermutu tinggi, dan mempunyai harapan tinggi terhadap anak-anaknya. Mereka yakin, anak-anak dapat memenuhi harapan ini lewat kerja keras dan komitmen mereka yang kuat. Para ibu aktif membimbing anak-anak mereka, bekerja sama dengan para guru yang sangat mereka hormati. Menurut M. White, penulis The Japanese Educational Challenge: A Commitment to Children, memaksimalkan potensi anak Jepang diterima sebagai tanggung jawab sosial, bukan sekadar slogan-slogan tetapi sampai tingkat praksis sebenarnya.
            Gardner mencatat itu dalam bukunya, Multiple Intelligences. Ia menegaskan keterlibatan individual dengan masyarakat dalam berbagai tingkat: individu dengan keluarga, keluarga dengan sekolah, sekolah dengan tempat kerja, dan karyawan dengan pemberi kerja. Nilai-nilai sosial mendukung sekolah, dengan memberikan penekanan pada motivasi dan usaha, bukan kemampuan karena bakat. Kompetensi individual tumbuh dan dipelihara dalam kultur yang mendukung. Ketika semua kekuatan ini menyatu, Gardner menyatakan, kecerdasan kemungkinan besar akan terwujud. Kecerdasan inilah yang akan menjadi kekuatan baru meraih target-target capaian.
            Sering dilupakan ketika orang berbicara tentang kecerdasan adalah bahwa kini teori kecerdasan semestinya dipahami tidak hanya mempertimbangkan wilayah pemikiran manusia yang sudah dikenal, tetapi juga masyarakat tempat semua pemikiran itu difungsikan. Ada keanekaragaman perwujudan kecerdasan di dalam budaya dan lintas budaya. Penilaian terhadap kecerdasan ini pun semestinya diarahkan kepada tujuan membangun berbagai potensi untuk memahami atau kompetensi. Kompetensi inilah yang membuat seseorang mampu berpartisipasi dalam berbagai keadaan yang berkembang dalam budaya setempat.
            Masyarakat di mana pun memiliki banyak peran yang harus diisi oleh anggota masyarakat yang bersangkutan. Pada masyarakat tradisional-agraris misalnya, kemampuan membaca dan menulis belum tentu dianggap satu-satunya ukuran kecerdasan. Gardner mengutip Le Vine dan White (1986), justru menegaskan bahwa kecerdasan dalam masyarakat tersebut terutama tidak ditetapkan oleh keterampilan yang berkaitan dengan membaca dan menulis. “Orang yang bertingkah laku menurut norma sosial dianggap cerdas dalam hal-hal yang paling diperhitungkan, yaitu dalam mempertahankan hubungan sosial yang berarti keamanan jangka panjang...,” katanya.
            Kalau benar demikian, tuntutan akademis guru-guru di sekolah formal maupun orang tua di rumah terhadap anak-anak mereka perlu dilihat kembali dalam perspektif teori baru Gardner itu. Jangan-jangan, selama ini para guru dan orang tua masih berkutat dengan satu kecerdasan saja yang bisa diukur dengan nilai tunggal sebagaimana dilontarkan Binet hampir seabad lalu untuk mengenali anak-anak yang prestasinya buruk di sekolah. Terhadap kekurangan anak-anak ini, diberikan solusi dengan memanfaatkan pendidikan khusus atau tambahan. Kini, boleh jadi kita menilai pengukuran itu belum utuh karena tidak memperhatikan potensi menyeluruh dari si anak. Tetapi, tak urung masih saja membebani anak dengan kurikulum yang memberatkan dan berbagai les tambahan.
            Jangan-jangan, tulisan permohonan siswa Indonesia yang ditemukan Ridwan tergantung di kuil Kawasaki Daishi itu justru satu perwujudan kecerdasan tersendiri, sesuai konteks budaya masyarakatnya. Apa pun kritiknya atas isi dan rumusan permohonan itu, seperti sikap pragmatis sempit, hedonis, mau enak tanpa usaha keras; tetap saja itu menjadi cerminan dan lahir dari tengah masyarakatnya. (F.X. Warindrayana)

0 komentar:

Posting Komentar

 
Free Website templateswww.seodesign.usFree Flash TemplatesRiad In FezFree joomla templatesAgence Web MarocMusic Videos OnlineFree Wordpress Themes Templatesfreethemes4all.comFree Blog TemplatesLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesSoccer Videos OnlineFree Wordpress ThemesFree Web Templates