twitter
    Find out what I'm doing, Follow Me :)

Ketika Anak Dianggap Ketinggalan

Jangan tergesa-gesa menganggap anak ketinggalan dalam meraih kemampuan membaca dan menulis. Apalagi, lalu cepat-cepat mengambil tindakan konkret yang dianggap bakal mengatasi, seperti melakukan drilling atau mengikutkan kursus baca-tulis.

Bukan sekadar membunyikan dan menuliskan huruf
Banyak orang tua gelisah ketika mendapati anaknya belum bisa membaca dan menulis, kendati masih duduk di Taman Kanak-Kanak. Kegelisahan itu wajar saja muncul ketika orang tua melihat teman-teman anaknya sudah bisa membaca atau menulis. Tetapi, apa sebenarnya yang terjadi pada anak yang dianggap sudah bisa membaca dan menulis tersebut?
Para pakar literasi di negara-negara maju, menurut Goodman (1987), berpendapat bahwa membaca bukan sekadar membunyikan huruf-huruf tetapi memberi makna pada tulisan. Dengan membaca semestinya anak juga berpikir mengenai isi atau makna bacaan tersebut. Karena itu, mengajarkan membaca pada anak akan lebih efektif kalau bertitik tolak dari konteks keseharian yang dialami atau dikenal anak, dan bukan memberikan kata-kata di luar konteks pemahaman anak.
Demikan pula ketika mengajarkan menulis (hand-writing) pada anak. Guru yang mengajarkan keterampilan menulis dengan cara mencontoh dan menyalin, disebut oleh Goodman sebagai upaya yang sia-sia. Menurutnya, pengajaran literasi bukan sekadar mengajak anak belajar membunyikan dan menuliskan huruf-huruf dengan cara merangkai-rangkai, melainkan mengembangkan kemampuan baca-tulis melalui pengembangan kemampuan berbahasa.

Mengembangkan aspek kognisi dalam kemampuan berbahasa
            Harus diakui bahwa masih banyak TK atau sekolah dasar tingkat rendah yang mengajarkan baca-tulis dalam arti mengajarkan sistem atau cara membunyikan, menuliskan, dan merangkai huruf-huruf membentuk kata dan kalimat sesuai buku pegangan. Pengembangan literasi yang dilaksanakan dengan cara itu tentu sangat membatasi kebebasan anak dalam mengembangkan kemampuan berbahasa melalui bacaan-bacaan yang sesuai maupun dalam hal mengekspresikan perasaan dan pikiran melalui tulisan.
            Pengembangan kemampuan baca-tulis ini berkaitan dengan perkembangan kognisi anak yang berhubungan dengan kemampuan berbahasa. Baca-tulis dalam konteks pemahaman ini hanya sebagai sarana anak dalam mengekspresikan diri seiring kemampuan berbahasa mereka. Belajar membaca dan menulis menjadi konsekuensi dari pengembangan kemampuan berbahasa. Sementara itu pemaknaan terhadap bacaan dan tulisan ditentukan oleh sosialisasi dan interaksi anak dengan lingkungannya.
            Dalam pembelajarannya, menurut Dra. Retno Priyani, M.Si., psikolog yang mengajar di FKIP USD Jogjakarta, antara membunyikan-menuliskan huruf dan memahami maknanya mesti seiring. Pemilihan kata untuk anak disesuaikan dengan lingkungan pengenalan anak sehingga maknanya dipahami. Anak akan kesulitan kalau pemilihan kata ini tidak akrab dengan dunianya. Proses pengenalan ini menuntut kemampuan kognisi sekaligus menstimulasi perkembangan kognisi anak.

Ketika anak “ketinggalan” dari temannya
            Bukan hanya soal baca-tulis, jika anak “ketinggalan” dibandingkan temannya dalam kegiatan apa pun, orang tua bawaannya suka menjadi gelisah. Tetapi, sebenarnya itu tidak perlu karena tiap anak adalah unik dalam perkembangannya. Hal itu dikatakan Retno Priyani. “Orang tua mesti sabar menghadapi kesulitan anak. Saya dulu juga mengalami. Ada tahap anak saya ketika diminta mewarnai gambar di kelas, coretannya belepotan keluar garis. Saya berpikir, ini kan masih dalam taraf perkembangan motorik halusnya. Anaknya tetap asyik, nggak ada masalah. Kita saja yang pelan-pelan mengarahkan. Toh, itu tidak berlangsung lama. Anak cepat sekali berkembang,” katanya.
            Apakah anak bakal jadi minder akibat ketinggalannya? “Tidak juga,” kata Retno, “Itu tergantung konsep diri anak, bagaimana anak melihat dirinya. Kalau guru di sekolah menyalahkan, teman-temannya mengatakan ia bodoh, di rumah pun orang tua menyebutnya bodoh; mungkin ia akan melihat dirinya betul-betul sebagai orang yang tidak mampu,” lanjutnya. Tetapi, yang seperti itu kemungkinannya amat kecil. Paling tidak, selalu ada kesadaran dari orang tua untuk memberikan penghargaan dan dukungan yang membesarkan hati. Ini penting untuk menepis label negatif yang meneror diri anak.
            “Ketinggalan” di bidang baca-tulis akankah membawa dampak ketinggalan pula di bidang-bidang lainnya? Ini tergantung seberapa lama anak membutuhkan waktu untuk “mengejar” ketinggalannya. Pada umumnya anak tidak akan mengalami kesulitan serius berkaitan dengan baca-tulis kecuali terjadi kelainan-kelainan, seperti disleksia misalnya. “Orang tua sebaiknya tidak tinggal diam ketika melihat teman sebaya si anak sudah mampu membaca dan menulis. Mungkin ia kurang memberi stimulasi pada anak untuk membaca dan menulis. Kalau begitu, orang tua mesti meluangkan waktu untuk memberikan rangsangan dan mengembangkan kemampuan anak,” komentar Retno.

Menyikapi “ketertinggalan” anak
            Apa yang mesti dilakukan orang tua ketika anaknya dianggap “ketinggalan” dalam bidang baca-tulis? Jangan tergesa-gesa mengambil tindakan terhadap anak.
Pertama, amati lagi anak kita. Cocokkan dengan informasi atau data yang kita peroleh dari luar untuk menguji data itu benar atau salah. Jangan langsung membenarkan atau ikut-ikutan orang lain yang mengomentari anak kita.
Kedua, kalaupun informasi ketertinggalan itu berasal dari guru, orang tua tetap perlu mengeceknya kembali. Apalagi kalau guru si anak mesti menghadapi kelas yang besar. Rentangan kontrol dan perhatian personal pada tiap-tiap anak bisa saja kurang cermat.
Ketiga, ada baiknya orang tua tahu metode yang dipakai guru di kelas. Kalau ternyata metodenya tidak efektif, seperti menggunakan pendekatan bunyi yang sudah ditinggalkan di banyak negara maju, orang tua bisa mencoba memberi masukan. Atau, paling tidak orang tua bisa mengimbangi dengan metode yang lebih sesuai untuk anak di rumah.
Keempat, perlu diingat lagi bahwa tiap anak itu unik, termasuk tingkat perkembangannya. Karena itu orang tua perlu mengamati tahap-tahap perkembangan anak dan tingkat kematangannya untuk mempelajari sesuatu. Anak yang keterampilan motorik halusnya belum berkembang dengan baik, mustahil terampil menulis.
Kelima, salah satu petunjuk bahwa anak sudah cukup matang untuk mempelajari sesuatu adalah minatnya yang besar. Misalnya, kalau aspek motorik halusnya sudah muncul, anak cenderung melakukan corat-coret di mana pun. Ini saatnya orang tua mengajarinya menulis.
Keenam, istilah “tertinggal” mungkin lebih baik dikritisi sebagai “terlambat” karena tidak semestinya membandingkan tingkat perkembangan anak dengan anak lainnya. Menuntut anak mengejar “ketinggalan”, salah-salah bisa membuatnya frustrasi.  Istilah “terlambat” lebih tepat, ini ditujukan kepada orang tua atau orang dewasa di sekitar anak yang tidak memberikan stimulasi atau rangsangan yang tepat pada saatnya sehingga tingkat kemampuan anak terlambat dari potensinya.
            Di luar semua itu anak butuh suasana yang mendukung dan contoh dari orang tua atau orang dewasa di sekitarnya. Mengajari anak membaca, misalnya. Anak akan lebih termotivasi kalau ia juga melihat orang tuanya suka membaca. Karenanya, beri anak kesempatan sesering mungkin untuk melihat orang tuanya membaca. Kalau perlu, bacalah dengan volume keras agar didengar anak dan menarik perhatiannya. Ada baiknya, orang tua membagikan informasi-informasi yang bermanfaat bagi anak dan katakan bahwa itu diperoleh dari membaca buku. Dengan demikian, anak bakal semakin terangsang untuk belajar membaca. (warindra)

0 komentar:

Posting Komentar

 
Free Website templateswww.seodesign.usFree Flash TemplatesRiad In FezFree joomla templatesAgence Web MarocMusic Videos OnlineFree Wordpress Themes Templatesfreethemes4all.comFree Blog TemplatesLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesSoccer Videos OnlineFree Wordpress ThemesFree Web Templates