twitter
    Find out what I'm doing, Follow Me :)

KECERDASAN


            Jason H., siswa kelas dua SMU Coral Springs, Florida, diberitakan dalam The New York Times 23 Juni 1992 menusuk guru fisikanya dengan sebilah pisau. Tidak jelas alasan sesungguhnya. Tetapi, fakta-fakta yang dilaporkan antara lain menyebutkan bahwa guru fisikanya itu memberinya nilai B dalam sebuah tes. Jason yang selalu mendapat nilai A, yakin bahwa nilai B itu akan menghalangi cita-citanya masuk Harvard. Ia lalu membawa sebilah pisau dapur dan menusukkannya di tulang selangka gurunya dalam sebuah pergumulan.
            Meski guru itu bersaksi bahwa ”ia betul-betul mencoba membunuh saya dengan pisau itu”, tetapi hakim membebaskannya karena empat psikolog yang dihadirkan bersumpah bahwa ia mengalami kegilaan saat kejadian itu. Dua tahun kemudian Jason yang pindah ke sekolah lain lulus dengan nilai kumulatif sempurna. Meski lulus dengan nilai terbaik, tetapi guru fikikanya itu mengeluh bahwa Jason tidak pernah meminta maaf dan tidak mau bertanggung jawab sedikit pun atas serangannya dulu.
            Orang boleh geleng-geleng kepala. Bagaimana mungkin anak yang cerdas dengan IQ tinggi itu bisa melakukan sesuatu yang sungguh-sungguh bodoh? Jawabnya sederhana. Benar ia memiliki kecerdasan akademis tetapi mungkin tidak untuk kecerdasan emosional. Ilustrasi itu dipakai oleh Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intelligence untuk menekankan bahwa kecerdasan emosional tidak bisa diabaikan.
            Isu kecerdasan sedang gencar memprovokasi masyarakat, utamanya para orang tua. Berbagai produk untuk anak dikemas dengan isu kecerdasan. Makanan, minuman, dan berbagai jenis permainan anak ditawarkan sebagai produk yang merangsang kecerdasan. Kursus-kursus yang dikaitkan dengan kecerdasan pun menjamur. Dan, semua yang ditawarkan itu dilalap habis oleh masyarakat modern yang mendamba kecerdasan. Lalu, jangan-jangan para produsen itu akan berkata seperti Mark Twain pernah berkata, “Kita harus berterima kasih dengan adanya orang-orang yang tidak berakal. Karena kebodohan merekalah kita mendapatkan hasil.”
            Ironis. Tetapi, tengok saja betapa para orang tua sangat suka membanggakan anaknya mengikuti banyak kursus. Atau, membanggakan nilai anak di sekolah. Anak yang pandai, itulah yang membanggakan orang tua. Pandai itukah kecerdasan? Jarang terdengar, misalnya, orang tua bangga karena anaknya minta maaf sesaat setelah berbuat salah. Atau, bangga anaknya bisa mendamaikan temannya yang bertengkar. Bukankah sebenarnya ini juga semacam bibit kecerdasan di wilayah berbeda yang perlu dibina bagi seorang calon negosiator atau mediator perdamaian yang amat dibutuhkan dalam kehidupan bersama? Tetapi, mengapa orang cenderung memberi tekanan pada kecerdasan akademis saja?
            Tidak dipungkiri, kecerdasan amat dibutuhkan. Y.B. Mangunwijaya selalu mengingatkan bahwa kecerdasan adalah suatu yang harus diutamakan. Karena, orang yang cerdas akan mampu mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi. Ia tidak akan lari, sebab tahu cara pemecahannya. Tetapi, kata cerdas itu sendiri apa artinya? Lagi-lagi kita bakal dibingungkan oleh pendapat banyak orang, bahkan pakar. Tengok saja istilah kecerdasan intelektual yang sering dipertentangkan dengan kecerdasan emosional. Istilah intelektual sendiri berasal dari akar kata dalam bahasa Inggris yang berarti kecerdasan. Lalu, apa itu kecerdasan intelektual? Mungkin, maksudnya kecerdasan di wilayah rasional.
            Tiap orang rasa-rasanya mengucapkan kata kecerdasan dengan muatan makna berbeda. Para penjual isu kecerdasan untuk mengemas berbagai produk barang atau jasanya itu cukup mengandaikan para konsumen tahu maknanya. Atau, bahkan, tidak tahu pun tidak menjadi soal. Kecerdasan telah menjadi kata pemikat ampuh, tanpa harus menerangkan lagi apa itu kecerdasan dan untuk apa. Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) mengartikan kata cerdas sebagai ”sempurna perkembangan akal budinya” (!). Kalau begitu, kata itu bakal menjadi predikat hebat bagi penyandangnya. Tetapi, adakah pendidikan yang memampukan orang menjadi seperti itu?
            Paling-paling, orang hanya bisa berupaya ke arah itu, melalui proses pendidikan multidimensional dan integralistik. Dan, tidak banyak sarana yang seperti itu dari sekian banyak tawaran yang membanjir. Bahkan, meski dikatakan metodenya bakal merangkum perangsangan bukan hanya kecerdasan rasional namun juga emosional. Tetapi, bukankah masih ada juga kecerdasan-kecerdasan lain seperti kecerdasan moral, spiritual, musikal, spasial-temporal, dan lain-lain yang bisa disebutkan orang? Orang cerdas adalah orang unggul seimbang yang memang bakal dibutuhkan oleh masyarakat. Hanya unggul akademis atau pandai terbukti memang belum cukup. Bahkan nyaris menjadi pembunuh sesamanya, seperti Jason. (F.X. Warindrayana)

0 komentar:

Posting Komentar

 
Free Website templateswww.seodesign.usFree Flash TemplatesRiad In FezFree joomla templatesAgence Web MarocMusic Videos OnlineFree Wordpress Themes Templatesfreethemes4all.comFree Blog TemplatesLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesSoccer Videos OnlineFree Wordpress ThemesFree Web Templates